Ditulis oleh : Ioanes Rahmat (Mantan
Pendeta GKI dan Mantan Dosen Sekolah Tinggi Theologi Jakarta)
Sesungguhnya, tidak seorang pun tahu kapan persisnya Yesus dari
Nazaret dilahirkan ke dalam dunia ini. Tidak ada suatu Akta Kelahiran zaman
kuno yang menyatakan dan membuktikan kapan dia dilahirkan. Tidak ada seorang
saksi hidup yang bisa ditanyai.
Berlainan dari tuturan kisah-kisah kelahiran Yesus yang dapat
dibaca dalam pasal-pasal permulaan Injil Matius dan Injil Lukas, sebetulnya
pada waktu Yesus dilahirkan, bukan di Betlehem, tetapi di Nazaret, tidak banyak
orang menaruh perhatian pada peristiwa ini. Paling banyak, ya selain ayah dan
ibunya, beberapa tetangganya juga ikut sedikit disibukkan oleh kelahirannya
ini, di sebuah kampung kecil di provinsi Galilea, kampung Nazaret yang tidak
penting.
Baru ketika Yesus sesudah kematiannya diangkat menjadi sang Mesias
Kristen agung oleh gereja perdana, atau sudah dipuja dan disembah sebagai sang
Anak Allah, Raja Yahudi, dan Juruselamat, disusunlah kisah-kisah kelahirannya
sebagai kelahiran seorang besar yang luar biasa, seperti kita dapat baca dalam
pasal-pasal awal Injil Matius dan Injil Lukas (keduanya ditulis sekitar tahun
80-85 M). Penulis Injil Kristen tertua intrakanonik, yakni Injil Markus
(ditulis tahun 70 M), sama sekali tidak memandang penting untuk menyusun sebuah
kisah kelahiran Yesus.
Dalam tuturan penulis Injil Lukas, kelahiran Yesus diwartakan
sebagai kelahiran seorang tokoh Yahudi yang menjadi pesaing Kaisar Agustus,
yang sama ilahi dan sama berkuasanya, yang kelahiran keduanya ke dalam dunia
merupakan “kabar baik” (euaggelion) untuk seluruh bangsa karena keduanya adalah
“Juruselamat” (sōtēr) dunia (bdk Lukas 2:10,11 dan prasasti dekrit Majelis
Provinsi Asia tentang Kaisar Agustus yang dikeluarkan tahun 9 M). Dalam tuturan
penulis Injil Matius, kanak-kanak Yesus yang telah dilahirkan, yang diberitakan
sebagai kelahiran seorang Raja Yahudi, telah menimbulkan kepanikan pada Raja
Herodes Agung yang mendorongnya untuk memerintahkan pembunuhan semua anak di
Betlehem yang berusia dua tahun ke bawah (Matius 2:2, 3, 16).
Dalam kisah-kisah kelahiran Yesus dalam kedua injil inipun, bahkan
dalam seluruh Perjanjian Baru, tidak ada suatu catatan historis apapun yang
menyatakan tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus. Jika demikian,
bagaimana tanggal 25 Desember bisa ditetapkan sebagai hari kelahiran Yesus,
hari Natal? Dalam kebudayaan kuno Yahudi-Kristen dan Yunani-Romawi, ada dua
cara yang dapat dilakukan untuk menetapkan hari kelahiran Yesus.
Cara pertama
Seperti dicatat dalam dokumen Yahudi Rosh Hashana (dari abad
kedua), sudah merupakan suatu kelaziman di kalangan Yahudi kuno untuk
menyamakan hari kematian dan hari kelahiran bapak-bapak leluhur Israel. Dengan
sedikit dimodifikasi, praktek semacam ini diikuti oleh orang-orang Kristen
perdana ketika mereka mau menetapkan kapan Yesus Kristus dilahirkan.
Sebetulnya, praktek semacam ini berlaku hampir universal dalam orang menetapkan
hari kelahiran tokoh-tokoh besar dunia yang berasal dari zaman kuno. Dalam kepercayaan
para penganut Buddhisme, misalnya, hari kelahiran, hari pencapaian pencerahan
(samma sambuddha) dan hari kematian (parinibbana) Siddharta Gautama sang Buddha
dipandang dan ditetapkan (pada tahun 1950 di Sri Langka) terjadi pada hari yang
sama, yakni Hari Waisak atau Hari Trisuci Waisak.
Ketika orang-orang Kristen perdana membaca dan menafsirkan
Keluaran 34:26b (bunyinya, “Janganlah engkau memasak anak kambing dalam susu
induknya”), mereka menerapkannya pada Yesus Kristus. “Memasak anak kambing” ditafsirkan
oleh mereka sebagai saat orang Yahudi membunuh Yesus; sedangkan frasa “dalam
susu induknya” ditafsirkan sebagai hari pembenihan atau konsepsi Yesus dalam
rahim Bunda Maria. Dengan demikian, teks Keluaran ini, setelah ditafsirkan
secara alegoris, menjadi sebuah landasan skriptural untuk menetapkan bahwa hari
kematian Yesus sama dengan hari pembenihan janin Yesus dalam kandungan ibunya,
sekaligus juga untuk menuduh orang Yahudi telah bersalah melanggar firman Allah
dalam teks Keluaran ini ketika mereka membunuh Yesus.
Kalau kapan persisnya hari kelahiran Yesus tidak diketahui
siapapun, hari kematiannya bisa ditentukan dengan cukup pasti, yakni 14 Nisan
dalam penanggalan Yahudi kuno, dan ini berarti 25 Maret dalam kalender
Gregorian. Sejumlah bapak gereja, seperti Klemen dari Aleksandria, Lactantius,
Tertullianus, Hippolytus, dan juga sebuah catatan dalam dokumen Acta Pilatus,
menyatakan bahwa hari kematian Yesus jatuh pada tanggal 25 Maret. Demikian
juga, Sextus Julianus Afrikanus (dalam karyanya Khronografai, terbit tahun
221), dan Santo Agustinus (menulis antara tahun 399 sampai 419), menetapkan 25
Maret sebagai hari kematian Yesus. Dengan demikian, hari pembenihan janin Yesus
dalam rahim Maria juga jatuh juga pada 25 Maret.
Kalau 9 bulan ditambahkan pada hari konsepsi Yesus ini, maka hari
kelahiran Yesus adalah 25 Desember. Sebuah traktat yang mendaftarkan
perayaan-perayaan besar keagamaan, yang ditulis di Afrika dalam bahasa Latin
pada tahun 243, berjudul De Pascha Computus, menyebut tanggal 25 Desember
sebagai hari kelahiran Yesus. Hippolytus, dalam Tafsiran atas Daniel 4:23
(ditulis sekitar tahun 202), menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari
kelahiran Yesus. Sebuah karya yang ditulis dengan tangan, dalam bahasa Latin,
pada tahun 354 di kota Roma, yang berjudul Khronografi, juga menyebut 25
Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus.
Meskipun banyak dokumen dari abad ketiga sampai abad keempat
menyebut tanggal 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus Kristus, tidak semua
orang pada waktu itu menyetujui adanya perayaan hari Natal. Origenes, teolog
Kristen dari Aleksandria, misalnya, dalam karyanya Homili atas Kitab Imamat,
menyatakan bahwa “hanya orang-orang berdosa seperti Firaun dan Raja Herodes
yang merayakan hari ulang tahun mereka.” Begitu juga, seorang penulis Kristen
bernama Arnobus pada tahun 303 memperolok gagasan untuk merayakan hari
kelahiran dewa-dewi.
Pada sisi lain, kalangan Montanus menolak kalau kematian Yesus
jatuh pada 25 Maret; bagi mereka Yesus wafat pada 6 April. Dengan demikian 6
April juga hari konsepsi Yesus dalam kandungan Maria, ibunya. Kalau setelah 6
April ditambahkan 9 bulan, maka hari kelahiran Yesus jatuh pada 6 Januari. Di
kalangan Gereja Timur (yang berbahasa Yunani), berbeda dari Gereja Barat (yang
berbahasa Latin), hari Natal tidak dirayakan pada 25 Desember, tetapi pada 6
Januari.
Cara kedua
Sebelum kekristenan lahir dan tersebar di seantero kekaisaran
Romawi dan kemudian dijadikan satu-satunya agama resmi (religio licita)
kekaisaran melalui dekrit Kaisar Theodosius pada tahun 381, orang Romawi
melakukan penyembahan kepada Matahari (= heliolatri).
Dalam heliolatri ini, Dewa Matahari atau Sol menempati kedudukan
tertinggi dan ke dalam diri Dewa Sol ini terserap dewa-dewa lainnya yang juga
disembah oleh banyak penduduk kekaisaran, antara lain Dewa Apollo (dewa
terang), Dewa Elah-Gabal (dewa matahari Syria) dan Dewa Mithras (dewa perang
bangsa Persia).
Heliolatri, yakni pemujaan dan penyembahan kepada Dewa Sol sebagai
Dewa Tertinggi, menjadi sebuah payung politik-keagamaan untuk mempersatukan
seluruh kawasan kekaisaran Romawi yang sangat luas, dengan penduduk besar yang
menganut berbagai macam agama dan mempercayai banyak dewa.
Pada tahun 274 oleh Kaisar Aurelianus Dewa Sol ditetapkan secara
resmi sebagai Pelindung Ilahi satu-satunya atas seluruh kekaisaran dan atas
diri sang Kaisar sendiri dan sebagai Kepala Panteon Negara Roma. Menyembah Dewa
Sol sebagai pusat keilahian berarti menyentralisasi kekuasaan politik pada diri
sang Kaisar Romawi yang dipandang dan dipuja sebagai titisan atau personifikasi
Dewa Sol sendiri.
Dalam heliolatri ini tanggal 25 Desember ditetapkan sebagai hari
perayaan religius utama untuk memuja Dewa Sol, hari perayaan yang harus
dirayakan di seluruh kekaisaran Romawi. Ketika winter solstice, saat musim
dingin ketika matahari (Latin: sol) tampak “diam tak bergeming” (Latin:
sistere) di titik terendah di kaki langit Eropa sejak tanggal 21 Desember,
persis pada tanggal 25 Desember matahari mulai sedikit terangkat dari kaki
langit dan mulai sedikit demi sedikit beranjak naik ke atas, seolah sang Sol
ini hidup atau lahir kembali. Peristiwa astronomikal ini ditafsir secara
religius sebagai saat Dewa Sol tak terkalahkan, bangkit dari kematian, yang
dalam bahasa Latinnya disebut sebagai Sol Invictus (=Matahari Tak Terkalahkan).
Dengan demikian, tanggal 25 Desember dijadikan sebagai Hari Kelahiran Dewa Sol
Yang Tak Terkalahkan, Dies Natalis Solis Invicti. Karena Kaisar dipercaya
sebagai suatu personifikasi Dewa Sol, maka sang Kaisar Romawi pun menjadi Sang
Kaisar atau Sang Penguasa Tak Terkalahkan, Invicto Imperatori, seperti diklaim
antara lain oleh Kaisar Septemius Severus yang wafat pada tahun 211.
Nah, ketika kekristenan disebarkan ke seluruh kekaisaran Romawi,
para pemberita injil dan penulis Kristen, sebagai suatu taktik misiologis
mereka, mengambil alih gelar Sol Invictus dan mengenakan gelar ini kepada Yesus
Kristus sehingga Yesus Kristus menjadi Matahari Tak Terkalahkan yang
sebenarnya. Mereka memakai teks-teks Mazmur 19:5c-6 (“Ia memasang kemah di
langit untuk Matahari yang keluar bagaikan Pengantin laki-laki yang keluar dari
kamarnya, girang bagaikan pahlawan yang hendak melakukan perjalanannya.”),
Maleakhi 4:2 (“… bagimu akan terbit Surya Kebenaran dengan kesembuhan pada
sayapnya.”) dan Lukas 1:78-19 (“Oleh rakhmat dan belas kasihan Allah kita,
dengan mana Ia akan melawat kita, Surya Pagi dari tempat yang tinggi.”) sebagai
landasan skriptural untuk menjadikan Yesus Kristus sebagai Sol Invictus yang
sebenarnya.
Dengan jadinya Yesus Kristus sebagai Sol Invictus baru, maka
tanggal 25 Desember sebagai hari natal Dewa Sol juga dijadikan hari Natal Yesus
Kristus. Seorang penulis Kristen perdana, Cyprianus, menyatakan, “Oh, betapa
ajaibnya: Allah Sang Penjaga, Pemelihara dan Penyelenggara telah menjadikan
Hari Kelahiran Matahari sebagai hari di mana Yesus Kristus harus dilahirkan.”
Demikian juga, Yohanes Krisostomus, dalam khotbahnya di Antikohia pada 20
Desember 386 (atau 388), menyatakan, “Mereka menyebutnya sebagai ‘hari natal
Dia Yang Tak Terkalahkan’. Siapakah yang sesungguhnya tidak terkalahkan, selain
Tuhan kita…?”
Selanjutnya, mulai dari Kaisar Konstantinus yang (menurut sebuah
mitologi Romawi) pada 28 Oktober 312 melihat sebuah tanda salib dan sebuah
kalimat In Hoc Signo Vinces (=“Dengan tanda ini, kamu menang”) di awan-awan,
perayaan keagamaan yang memuja Sol Invictus pada 25 Desember diubah menjadi
perayaan keagamaan untuk merayakan hari Natal Yesus Kristus. Dengan digantinya
Dewa Sol dengan Yesus Kristus sebagai Sol Invictus yang sejati, dan tanggal 25
Desember sebagai hari Natal Yesus Kristus, sang Kaisar berhasil mengonsolidasi
dan mempersatukan seluruh wilayah negara Roma yang di dalamnya warga yang terbesar
jumlahnya adalah orang Kristen, yang, menurut Eusebius, adalah warga “Gereja
Katolik yang sah dan paling kudus” (Eusebius, Historia Ecclesiastica 10.6).
Dan sejak itu juga, para uskup/paus sama-sama mengendalikan
seluruh kekaisaran Roma di samping sang Kaisar sendiri; ini melahirkan apa yang
disebut Kaisaropapisme. Kalau sebelumnya heliolatri menempatkan Dewa Sol
sebagai Kepala Panteon yang menguasai seluruh dewa-dewi yang disembah dalam
seluruh negara Romawi dan sebagai pusat kekuasaan politik, maka ketika Yesus
Kristus sudah menjadi Sol Invictus pengganti, sang Kristus inipun mulai
digambarkan sebagai sang Penguasa segalanya (=Pantokrator), yang telah menjadi
sang Pemenang (=Kristus Viktor) di dalam seluruh kekaisaran Romawi.
Penutup
Jelas sudah, tanggal 25 Desember bukanlah hari kelahiran Yesus
yang sebenarnya. Seperti telah dinyatakan pada awal tulisan ini, kembali perlu
ditekankan bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun di dunia pada zaman kuno
dan pada masa kini mengetahui kapan persisnya Yesus dari Nazaret dilahirkan.
Ketika Yesus baru dilahirkan, dia bukanlah seorang penting apapun. Hanya
beberapa orang saja yang memedulikannya. Hanya ketika dia sudah diangkat
menjadi sang Kristus gereja dan dipercaya sebagai sang Juruselamat dunia, dia
baru menjadi penting dan kisah-kisah hebat tentang kelahirannya pun
disusun.
Pada zaman gereja awal dulu, orang tidak sepakat kapan persisnya
Yesus dilahirkan, meskipun berbagai cara penghitungan telah diajukan; dan juga
orang tidak selalu sependapat bahwa hari kelahiran Yesus Kristus perlu
dirayakan. Siapapun, dengan suatu pertimbangan teologis kultural, pada masa
kini dapat menetapkan sendiri hari Natal Yesus Kristus buat dirinya dan buat
komunitas gerejanya. Sebetulnya, cara merayakan Natal Yesus Kristus yang
sebenarnya adalah dengan menjelmakan kembali dirinya, terutama bela rasanya,
dalam seluruh gerak kehidupan orang yang menjadi para pengikutnya di masa kini.
Yang lebih mengherankan lagi, pihak gereja pura-pura bodoh dalam kebohongan ini padahal mereka tahu kalau tanggal 25 desember itu bukan hari kelahiran Yesus, demi mengeruk keuntungan dari umat kristen terpaksa kebohongan dan kebodohan ini ditutupi oleh bapak-bapak gereja. kenapa mereka harus berbohong? jawaban pertama adalah, tidak ada catatan yang benar tentang kapan Yesus lahir. kedua, dalam merayakan hari kelahiran Yesus atau Natal banyak menguntungkan pihak gereja terutama bapak-bapak gereja, dan juga menguntungkan para pengusaha dalam mempasilitasi acara natal tersebut dari dahulu sampai sekarang.
Yang lebih mengherankan lagi, pihak gereja pura-pura bodoh dalam kebohongan ini padahal mereka tahu kalau tanggal 25 desember itu bukan hari kelahiran Yesus, demi mengeruk keuntungan dari umat kristen terpaksa kebohongan dan kebodohan ini ditutupi oleh bapak-bapak gereja. kenapa mereka harus berbohong? jawaban pertama adalah, tidak ada catatan yang benar tentang kapan Yesus lahir. kedua, dalam merayakan hari kelahiran Yesus atau Natal banyak menguntungkan pihak gereja terutama bapak-bapak gereja, dan juga menguntungkan para pengusaha dalam mempasilitasi acara natal tersebut dari dahulu sampai sekarang.
Diposkan oleh Eros Dai