Mengucapkan selamat natal berarti kita memberi selamat
atas kelahiran Yesus sebagai tuhan…!
atas kelahiran Yesus sebagai tuhan…!
Ada yang mengatakan, “Nggak ada
larangan, baik di Quran maupun hadis, untuk ucapan selamat natal, Ustadz.. Coba
aja dicari”. Benarkah demikian?
Belum lama ini sebuah media memuat
salah satu pernyataan tokoh liberal yang menyebutkan bahwasannya tidak ada
larangan mengucapkan selamat natal baik dalam Al-Quran maupun hadis.
“Nggak ada larangan, baik di Quran maupun hadis, untuk ucapan selamat natal,
Ustadz.. Coba aja dicari”, ungkapnya.
Benarkah
demikian?
Ternyata tidak demikian
kenyataannya. Baiklah, pada kesempatan kali ini -setelah memohon taufik kepada
Allah ‘azzwajalla– penulis akan memaparkan dalil-dalil tersebut.
Mari kita simak pemaparannya berikut ini.
DALIL PERTAMA
Firman Allah ta’ala :
“Hamba-hamba Allah yang Maha belas
kasih sayang, yaitu orang-orang yang tidak mau menghadiri atau menyaksikan
upacara agama kaum musyrik (Az-zuur). Jika mereka melewati tempat yang sedang
digunakan untuk upacara agama oleh kaum musyrik, mereka segera berlalu dengan
sikap baik” (QS.
Al-Furqon, 72).
Makna kata Az-zuur dalam
ayat di atas adalah hari raya orang-orang musyrik. Sebagaimana diterangkan oleh
para ulama tafsir seperti Mujahid, Rabi’ bin Anas, Ikrimah, Qadhi Abu Ya’la,
dan Ad-Dhahak.
Kurang tepat bila kata Az-zuur dalam
ayat di atas dimaknai “dusta” karena kata Az-zuur di
sini bertemu dengan kata kerja yasy-hadu yang tidak
bergandengan dengan huruf ba’. Dalam gramatika bahasa Arab,
verba “syahida” ( yasy-hadu adalah
bentuk fi’il mudhari’nya) bila tidak bergandengan dengan huruf ba’,
maka maknanya adalah ikut serta atau hadir dalam sebuah peristiwa. Semisal
kalimat ini,
(Syahidtu kadza)
Artinya : “Saya hadir dalam
peristiwa ini.”
Sebagaimana pula perkataan Umar bin
Khattab radhiyallahu’anhu :
(Al-ghaniimatu
liman syahida al-ma’rakah)
Artinya : “Ghanimah (harta
rampasan perang) itu diperuntukkan untuk mereka yang ikut serta dalam
peperangan” (Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf no.
9689).
Juga perkataan Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu’anhuma
:
(Syahidtu al-‘iid ma’a Rasulillah
shallallahu’alaihi wa’ala aalihi wasallam)
Artinya : “Saya
mengahadiri/merayakan hari raya bersama Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam ”
(HR. Bukhari no. 962).
Adapun bila bersandingan dengan
huruf ba’, maka maknanya adalah kalimat berita. Seperti ini :
Syahidtu
bi kadza
Artinya : “Saya mengabarkan kejadian
ini.”
Nah, yang kita jumpai pada ayat di
atas adalah kata kerja yash-hadu tidak bergandengan dengan
huruf ba’. Oleh karenanya, makna yang tepat untuk potongan ayat “Wal
ladziina laaYasy-haduunaz Zuur” adalah orang-orang yang
tidak ikut serta dalam merayakan hari raya orang kafir.
Berbeda bila kata yash-hadu bergandengan dengan huruf ba’, sehingga
bunyi ayat menjadi “Wal ladziina laa Yasy-haduuna biz
Zuur”, barulah maknanya “dan orang-orang yang tidak bersaksi dengan
persaksian palsu atau dusta“. Penjelasan ini sekaligus menjadi koreksi
terhadap terjemahan ayat di atas yang beredar di masyarakat.
Pertanyaan
Lalu mengapa hari raya orang kafir
disebut az-zuur yang makna leksikalnya adalah “kebohongan”?
Jawabannya adalah karena masuk dalam
cakupan makna az-zuur (kebohongan) adalah segala hal yang
disamarkan dari hakikat sebenarnya atau dinampakkan baik padahal sejatinya
buruk. Boleh jadi karena motivasi syahwat atau karena syubhat. Kemusyrikan
misalnya, ia nampak baik di mata para penganutnya karena syubhat. Dan musik
nampak indah di mata para pendengarnya karena motivasi syahwat.
Adapun hari perayaan orang-orang
kafir terkumpul di dalamnya dua hal ini; yaitu motivasi syahwat dan syubhat.
Alasan lain adalah karena hari raya orang kafir terasa indah di dunia,
padahal ending di akhirat nanti adalah kesengsaraan. Oleh
karena itulah hari raya mereka disebut az-zuur (Iqtidha’
Shirat Al-mustaqim, 279-280).
Setelah menyimak peaparan di atas,
jelaslah bahwa makna az-zuur dalam ayat adalah hari raya kaum
kafir. Ini dalil bahwa berlepas diri dari perayaan-perayaan kaum kafir adalah
sebab mendapatkan pujian dari Allah ‘azzawajalla. Dan ciri ‘ibaadurrahman (hamba-hamba
Allah yang Maha belas kasih sayang) adalah, mereka yang berlepas diri dari
upacara perayaan hari raya kaum kafir.
Apakah masuk dalam hal ini ucapan
selamat? Tentu. Karena secara tidak langsung, melalui ucapan selamat tersebut
ia telah ikut serta dan turut mengambil andil dalam memeriahkan hari raya
mereka.
DALIL KEDUA
Hadis Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
beliau menceritakan, “Setibanya Nabi di Madinah, orang-orang Madinah kala itu
memiliki dua hari yang mereka bersenang-senang (merayakan) dua hari tersebut.
Lantas Nabi bertanya,
“Dua hari apa ini?”
“Kami bersenang-senang pada dua hari
ini semasa jahiliyah dulu ya Rasulullah.” Jawab para sahabat.
“Sesungguhnya Allah telah
menggantikan dua hari yang lebih baik dari dua hari tersebut, yaitu hari raya
idul adha dan idul fitri.”
Tangkas Nabi shallallahu’alaihiwasallam” (HR.
Abu Dawud, Ahmad, dan Nasa’i).
Sisi Pendalilan dari Hadis di Atas
Sesuatu yang telah telah
tergantikan, maka ia menjadi tidak berlaku karena telah digantikan oleh hal
lain. Tidak mungkin berlaku padanya dua keadaan sekaligus, yaitu antara
berlaku dan telah tergantikan, tentu ini kontradiksi. Pada hadis di
atas diterangkan bahwa Allah ‘azzawajalla telah menggantikan
untuk umat Islam dengan hari raya yang lebih baik daripada perayaan kaum
jahiliyah tersebut, sehingga tidak dibenarkan bila kemudian ada di antara kaum
muslimin yang ikut serta merayakan hari raya orang-orang kafir.
Sabda Nabi shallallahu’alaihiwasallam,
“Sesungguhnya Allah telah menggantikan dua hari yang lebih baik dari dua hari tersebut.” menunjukkan
pengingkaran beliau akan keikutsertaan umatnya dalam memeriahkan hari raya kaum
kafir. Dan ucapan selamat (tahniah) termasuk bentuk keterlibatan dalam
perayaan mereka. Bahkan itu adalah alamat yang paling nampak akan
keterlibatannya dalam perayaan hari raya orang-orang kafir.
Perlu juga kita ketahui, di antara
bentuk kasih saying Allah ta’ala kepada hamba-Nya adalah tidak
diharamkan sesuatu melainkan dihalalkan hal yang sejenis. Seperti Allah
mengharamkan riba, kemudian Allah menghalalkan jual beli. Mengharamkan zina
kemudian Allah halalkan nikah. Mengharamkan memeriahkan perayaan orang kafir,
lalu Allah halalkan untuk kita dua hari raya besar, idul fitri dan idul adha.
(Ya Allah… cukupkanlah kami dengan
perkara-perkara yang Engkau halalkan, dari perkara – perkara yang Engkau
haramkan.)
DALIL KETIGA
Hadis Tsabit bin Dhahak radhiyallahu’anhu,
beliau mengisahkan, “Seorang datang menemui Nabi shallallahu’alaihiwasallam sembari
berkata, ‘Wahai Rasulullah, saya pernah bernadzar untuk menyembelih unta di
Babwanah (nama sebuah tempat di dekat kota Makkah).“Apakah di sana ada arca
yang disembah oleh kaum jahiliyah?” Tanya Rasulullah kepada para
sahabatnya.
“Tidak wahai Rasulullah.” Jawab para
sahabat.
Nabi bertanya kembali, “Apakah di
tempat itu pernah dilaksanakan perayaan hari rayanya orang-orang jahiliyah?”
“Tidak wahai Rasulullah.” Sahut para
sahabat.
Kemudian Nabi bersabda, “Kalau
begitu, silahkan tunaikan nadzarmu. Karena sesungguhnya tidak boleh menunaikan
nadzar yang mengandung maksiat kepada Allah dan dalam hal yang di luar batas
kemampuan manusia” (HR. Abu
Dawud, hadis yang semakna juga terdapat dalam shahihain).
Sisi Pendalilan Hadis di Atas
Hadis ini menunjukkan bahwa,
menyembelih sembelihan di tempat yang pernah digunakan untuk merayakan
hari raya kaum musyrik adalah tergolong perbuatan maksiat. Hal ini sebagaimana
telah disinggung dalam sabda Nabi shallallahu ’alaihi wasallam, “Kalau
begitu, silahkan tunaikan nadzarmu. Karena sesungguhnya tidak boleh menunaikan
nadzar yang mengandung maksiat kepada Allah.” Sabda ini beliau
sampaikan setelah beliau tahu bahwa di tempat tersebut tidak pernah digunakan untuk
merayakan hari raya orang musyrik.
Bila sekedar menyembelih di tempat
yang pernah digunakan untuk merayakan hari raya orang kafir saja terlarang,
apalagi sampai memberikan ucapan selamat kepada mereka yang menunjukkan
dukungan terhadap hari raya mereka. Bahkan para ulama menjelaskan, termasuk hal
yang dilarang bagi umat islam adalah menjual pernak-pernik kebutuhan hari raya
mereka. Karena seperti ini termasuk memberikan dukungan terhadap atas kekufuran
mereka, apalagi sampai memberi ucapan selamat.
DALIL KEEMPAT
Hadis Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu’anha.
Disebutkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda :
“Sesungguhnya setiap kaum memiliki
hari raya dan hari raya kita adalah hari ini (yaitu hari idul adha)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis ini mengajarkan kepada kita
bahwa masing-masing kaum memiliki hari raya sendiri. Semakna dengan firman
Allah ta’ala,
“Untuk tiap umat di antara kamu,
Kami berikan syari’at dan jalan masing-masing” (QS. Al-Maidah 48).
Untuk kaum muslimin, telah
ditetapkan hari raya untuk mereka. Sebagaimana disinggung dan dijelaskan dalam
sabda nabi Muhammad SAW,“…hari raya kita adalah hari ini (yaitu
hari idul adha)” dan hari raya idul fitri sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis lain.
Hal ini menunjukkan bahwa bahwa Islam adalah agama berdikari yang tidak
perlu mencomot ajaran agama lain untuk diberlakukan atas penganutnya. Oleh
karena itu, sebagai seorang muslim sudah seharusnya menunjukkan sikap bangga
dan percaya diri terhadap hari raya agamanya, tidak perlu ikut serta dengan
perayaan hari raya orang lain.
DALIL KELIMA
Hadis Ummu Salamah radhiyallahu’anha,
dia menceritakan, “Nabi shallallahu ’alaihi wasallam lebih sering
puasa di hari sabtu dan ahad dari pada hari-hari yang lain. Beliau beralasan,
“Dua hari ini adalah hari rayanya
orang-orang musyrikin. Saya senang menyelisihi mereka” (HR. Ahmad dan Nasa’i).
Ada
Dua Faidah yang Bisa Kita Petik dari Hadis Ini
Pertama: Nabi shallallahu’alaihiwasallam menyukai
perbuatan yang menyelisihi orang-orang yahudi dan nasrani, terlebih pada
hal-hal yang berkaitan dengan syiar mereka dan hari raya adalah syiar terbesar
yang ada dalam agama mereka. Bila ada seorang muslim yang sampai ikut
serta dalam syiar terbesar mereka, itu menunjukkan bahwa ia telah menyelisi
perinsip-prinsip kenabian.
Bila ada yang berdalih dengan
toleransi, maka kita katakan, “Toleransi itu ada batasannya. Bukan menyangkut
hal-hal prinsip seperti ini. Bila menyangkut hal yang prinsip, maka sikap
seorang muslim adalah lakum diinukum waliya diin; bagi kalian agama
kalian dan bagiku agamaku.” Bagaimana tidak dikatakan prinsip sementara dalam
perayaan natal tersebut orang-orang nasrani sedang merayakan hari kelahiran
anak tuhan (menurut presepsi mereka). Pada saat itulah mereka menyembah
tuhan-tuhan mereka secara besar-besaran. Berangkat dari sini, tidak dibenarkan
bagi seorang muslim untuk memberi ucapan selamat atas hari raya mereka.
Kedua: Dalam sabdanya, Nabi menyebut
orang-orang yahudi dan nasrani sebagai “musyrikin”. Ini dalil bahwa boleh
bagi kita untuk menyebut mereka sebagai musyrikin. Sebagaimana juga diterangkan
dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 72 dan surat At-Taubah ayat 31.
DALIL KEENAM
Atsar dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu yang
diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi,
“Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja
kaum musyrikin di saat hari raya mereka karena kemurkaan Allah sedang turun
atas mereka” (Sunan Al-Baihaqi 9/234).
Amat disayangkan bila kemudian ada
sebagian aktivis dakwah yang membolehkan ucapan selamat natal. Seakan lebih
paham tentang toleransi daripada sahabat Umar bin Khatabradhiyallahu’anhu yang
mendapat julukan al-faruq (pembeda antara yang kebenaran dan kebatilan)
dari Nabi shallallahu’alaihiwasallam.
DALIL KETUJUH
Masih seputar atsar dari
Umar radhiyallahu’anhu. Pada kesempatan yang lain beliau berkata,
“Jangan dekati orang-orang kafir
pada hari raya-hari raya mereka” (Sunan Al-Baihaqi 9/234),
dan كنز العمال في سنن الأقوال والأفعال Kanzul
‘Ummal 1/405).
Bila sekedar menemui mereka saat
mereka sedang merayakan hari raya saja terlarang, apalagi sampai memberi ucapan
selamat keapada mereka. Tak diragukan lagi dalam ucapan selamat tersebut
mengandung unsur persetujuan atas penyembahan mereka kepada patung-patung atau
dewa-dewa mereka.
Dari tulisan ini, pembaca sekalian
bisa menyimpulkan, apakah boleh mengucapkan selamat natal ataukah tidak, bahkan
dengan logika paling sederhana sekalipun. Demikian yang bisa penulis
sampaikan, Semoga Allah membimbing kita semua untuk meniti jalan yang
diridhai-Nya. Washallallah ‘ala nabiyyina muhammad wa’ala aalihi wa
shahbihi wasallam.
--------------
*Referensi: Kitab Iqtidha’
Shirat Al-mustaqim li Mukhalafati Ash-Haabil Jahiim, hal: 287-310. Cetakan
Dar Al-Fadhilah, tahun 1424 H. Tahqiq: Nashir bin Abdulkarim Al-‘aqel.
Madinah An-Nabawiyyah, Islamic
University, 22 Safar 1436
By : Muslim.Or.Id/Ahmad
Anshori / 18 December 2014
Dengan sedikit editing dan
pelengkapan syakal hadits dari nahimunkar.com
(nahimunkar.com)