Muslim Rohingya diantara puing bangunan yang rusak dihancurkan teroris
Buddha di Sittwe, Myanmar, pada 16 Juni. 2012
JAKARTA – Mencuatnya berita dan tulisan di media online
belakangan ini mengenai keraguan akan pembantaian Rohingya yang terjadi di
Rakhine State, Myanmar, telah mengejutkan kalangan Pegiat Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Pasalnya, berita dan tulisan tersebut memuat pernyataan dan komentar
kontroversial yang seolah-olah ingin menegaskan bahwa fakta dan informasi
mengenai pembantaian terhadap Rohingya di negara bagian Rakhine, yang dahulu
bernama Arakan, adalah bohong belaka.
Seperti yang dimuat oleh
salah satu media online pada hari Senin (01/06/2015) contohnya, dimana seorang
Pegiat LSM Kesehatan yang mengaku telah dua kali ke Rakhine State dengan lugas
mengatakan bahwa berdasarkan hasil pantauannya ia tidak menemukan mayat-mayat
Rohingya yang tergeletak dimana-mana. Bahkan ia menyalahkan media-media yang
memberitakan ketidakbenaran mengenai pembantaian Rohingya di tahun 2012. Ia
juga menuduh adanya pihak ketiga yang sengaja menyebarkan berita pembantaian
terhadap Rohingya.
Namun anehnya, ia
kemudian mengakui adanya bukti bekas-bekas pembakaran masjid dan rumah-rumah
warga di Rakhine. Dalam pernyataan lebih lanjut, kebalikannya ia justru
mengatakan bahwa ketika ia masuk ke Rakhine, ia tidak menemukan ada yang
dibakar. Kedua pernyataan ini pun pada akhirnya saling bertentangan dan
menimbulkan kebingungan, sebut salah seorang netizen yang memberikan pendapat
di kolom komentar.
Di media sosial juga
beredar tulisan yang mengatakan bahwa tidak ditemukannya konflik Rohingya di
Myanmar. Tulisan ini didasarkan pada pengalaman seseorang yang berwisata ke
Myanmar selama beberapa hari. Ia mendeskripsikan bagaimana kondisi Myanmar yang
kondusif dan nyaman bagi wisatawan sehingga kemudian ia meyakini tidak adanya
konflik Rohingya di Myanamr. Namun, ketika disimak secara teliti tulisannya,
ternyata yang menjadi obyek tulisan tersebut adalah kondisi Muslim Myanmar di
Yangon, sementara konflik yang mendera Rohingya terjadi di Rakhine State, bukan
di Yangon. Dua tempat berbeda dan dua kondisi yang berbeda, dimana dari Yangon
ke Sittwe bisa ditempuh selama lebih kurang 2 jam perjalanan dengan menggunakan
pesawat terbang.
Heri Aryanto, Pegiat
Hukum dan HAM yang pernah melakukan investigasi di Sittwe, Meikhtila, dan
Yangon pada bulan Mei 2013 mengatakan bahwa ia menerima bukti-bukti
pembantaian, kesaksian-kesaksian, dan cerita mengenai pembantaian Rohingya oleh
penduduk mayoritas (Burmese) yang disponsori oleh Pemerintah Myanmar.
Tidak hanya pembantaian, Heri juga mendapati bukti dan cerita mengenai
pembatasan gerakan Rohingya di dalam wilayah Rakhine dan pemerkosaan terhadap
perempuan-perempuan Rohingya, baik ketika berada di Myanmar maupun pada saat
melakukan investigasi di tempat terdamparnya Rohingya di Aceh dan Medan pada
tahun 2013 dan 2015. Heri menyayangkan pernyataan-pernyataan yang hanya didasarkan
pada alasan “tidak menemukan cerita”, ujar Heri yang juga Advokat dan
Koordinator Advokasi Pengungsi SNH Advocacy Center.
Heri menambahkan bahwa
seharusnya kesimpulan mengenai pembantaian Rohingya diambil dari bukti-bukti
yang didapatkan secara lengkap dan dari sumber terpercaya. Tidak menemukan
adanya mayat dimana-mana di Rakhine State serta tidak menemukan adanya konflik
Rohingya di Yangon, tidaklah cukup untuk menyimpulkan tidak adanya pembantaian
terhadap Rohingya. “PBB saja setelah melihat langsung ke lokasi konflik di
Sittwe (Ibukota Rakhine State-red) mengatakan bahwa Rohingya adalah etnis
paling teraniaya di muka bumi”, tegasnya.
Heri juga mempertanyakan
apakah orang-orang yang memberikan pernyataan dan komentar tersebut benar-benar
telah mengetahui dan melihat langsung kondisi Rohingya ke wilayah konflik di
Rakhine State, atau hanya berdasarkan cerita orang-orang dari luar Rakhine.
Kalau benar-benar telah mengetahui dan menyaksikan sendiri kondisi Rohingya di
Rakhine State, maka pastinya mereka akan sungkan memberikan pernyataan seperti
itu, imbuh Heri.
Bahkan, apabila mereka
sempat membaca dengan seksama hasil investigasi Human Rights Watch yang
dipublikasi pada tahun 2013 dengan judul “All You Can Do is Pray, Crimes
Against Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslim in Burma’s Arakan
State“, maka sebagai seorang insan dan juga seorang Muslim, tentunya mereka
tidak akan sanggup mengatakan bahwa pembataian terhadap Rohingya adalah
rekayasa. Mereka juga tidak akan sampai hati mengatakan seperti pernyataan
seorang Pegiat LSM Kesehatan yang dikutip dari sebuah media online yang
menyebutkan : “Jika keluarnya Muslim Rohingya dari negerinya membuat
mereka pada akhirnya mendapat simpati dari berbagai negara yang bisa menekan
Myanmar memberikan status kewarganegaraan, berarti tindakan mereka sangat tepat“.
-
See more at: http://www.arrahmah.com/news/2015/06/04/aneh-fakta-pembantaian-muslim-rohingya-arakan-dianggap-bohong.
html#sthash.jYc4WZJM.dpuf