Puasa Ramadhan itu wajib bagi
setiap muslim
Hukum Puasa Ramadhan
Puasa Ramadhan itu wajib bagi
setiap muslim yang baligh (dewasa), berakal, dalam keadaan sehat, dan
dalam keadaan mukim (tidak melakukan safar/perjalanan jauh). Yang menunjukkan
bahwa puasa Ramadhan adalah wajib yaitu firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا
كُتِبَ
عَلَى
الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu
agar kamu bertakwa.” (QS. Al Baqarah [2] : 183)
Hal ini dapat dilihat pula pada
pertanyaan seorang Arab Badui kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang Badui ini datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan berambut kusut, kemudian dia berkata kepada beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Beritahukan aku mengenai puasa yang Allah wajibkan
padaku.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
شَهْرَ رَمَضَانَ ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَّعَ شَيْئًا
“(Puasa yang wajib bagimu adalah)
puasa Ramadhan. Jika engkau menghendaki untuk melakukan puasa sunnah
(maka lakukanlah).” (HR. Bukhari)
Dan kaum muslimin juga telah sepakat
tentang wajibnya puasa ini dan sudah ma’lum minnad dini bidhoruroh yaitu
seseorang akan kafir jika mengingkari
wajibnya hal ini. Puasa ramadhan ini tidak gugur bagi orang yang telah dibebani
syariat kecuali apabila terdapat ‘udzur (halangan). Di antara ‘udzur
sehingga mendapatkan keringanan dari agama ini untuk tidak berpuasa adalah
orang yang sedang bepergian jauh (safar), sedang sakit, orang yang sudah
berumur lanjut (tua renta) dan khusus bagi wanita apabila sedang dalam keadaan haid,
nifas, hamil atau menyusui. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/89,
118-127)
Peringatan bagi Orang yang
Sengaja Membatalkan Puasa
Pada zaman ini kita sering melihat
banyak di antara kaum muslimin yang meremehkan kewajiban yang agung ini. Jika
kita lihat di bulan Ramadhan di jalan-jalan ataupun tempat-tempat umum, banyak
orang yang mengaku muslim tidak melakukan kewajiban ini atau sengaja
membatalkannya. Mereka malah terang-terangan makan dan minum di tengah-tengah
saudara mereka yang sedang berpuasa tanpa merasa berdosa sama sekali. Padahal
mereka adalah orang-orang yang diwajibkan untuk berpuasa dan tidak punya
halangan sama sekali. Mereka adalah orang-orang yang bukan sedang bepergian
jauh, bukan sedang berbaring di tempat tidur karena sakit dan bukan pula orang
yang sedang mendapatkan halangan haid atau nifas. Mereka semua
adalah orang yang mampu untuk berpuasa.
Sebagai peringatan bagi
saudara-saudaraku ini yang masih saja enggan untuk menahan lapar dan dahaga
pada bulan yang diwajibkan puasa bagi mereka, kami bawakan sebuah kisah dari
sahabat Abu Umamah Al Bahili radhiyallahu ‘anhu.
Beliau (Abu
Umamah)menuturkan bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Ketika aku tidur, aku didatangi oleh dua orang
laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal.
Keduanya berkata, “Naiklah”. Lalu kukatakan, “Sesungguhnya aku tidak mampu.”
Kemudian keduanya berkata, “Kami akan memudahkanmu”. Maka aku pun menaikinya
sehingga ketika aku sampai di kegelapan gunung, tiba-tiba ada suara yang sangat
keras. Lalu aku bertanya, “Suara apa itu?” Mereka menjawab, “Itu adalah
suara jeritan para penghuni neraka.”
Kemudian dibawalah aku
berjalan-jalan dan aku sudah bersama orang-orang yang bergantungan pada urat
besar di atas tumit mereka, mulut mereka robek, dan dari robekan itu mengalirlah
darah. Kemudian aku (Abu Umamah)bertanya,
“Siapakah mereka itu?”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
“Mereka adalah orang-orang yang berbuka (membatalkan puasa) sebelum tiba
waktunya.” (HR. An Nasa’i dalam Al Kubra, sanadnya shahih. Lihat
Shifat Shaum Nabi, hal. 25).
Lihatlah siksaan bagi orang yang
membatalkan puasa dengan sengaja dalam hadits ini, maka bagaimana lagi dengan
orang yang enggan berpuasa sejak awal Ramadhan dan tidak pernah berpuasa sama
sekali. Renungkanlah hal ini, wahai saudaraku!!
Syarat Puasa
Para pembaca sekalian ingatlah puasa
memiliki syarat-syarat sebagaimana pula shalat. Jika syarat ini tidak ada maka
puasa tersebut tidak sah. Syarat tersebut adalah: 1. Dalam keadaan suci,
terbebas dari haid dan nifas, dan 2. Berniat. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah,
II/97)
Mengenai Niat
Niat merupakan syarat puasa karena
puasa adalah ibadah sedangkan ibadah tidaklah sah kecuali dengan niat
sebagaimana ibadah yang lain. Hal ini sebagaimana sabda Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam dari sahabat -Al Faruq- Umar bin Khaththab radhiyallahu
‘anhu:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya setiap amal itu
tergantung dari niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Niat puasa ini harus dilakukan untuk
membedakan dengan menahan lapar biasa. Menahan lapar bisa jadi hanya sekedar
kebiasaan atau dalam rangka diet sehingga harus dibedakan dengan puasa yang
merupakan ibadah.
Namun, para pembaca sekalian perlu
ketahui bahwasanya niat tersebut bukanlah diucapkan (dilafazkan). Karena
yang dimaksud niat adalah maksud untuk melakukan sesuatu dan tempatnya dalam
hati. Dan tatkala seseorang telah sahur di pagi hari pasti dia sudah berniat
dalam hati. Tidak mungkin seseorang makan sahur, kemudian dia tidak memiliki
niat sama sekali. Ini mustahil! Sehingga para ulama mengatakan:
لَوْ كَلَّفَنَا اللهُ
عَمَلاً بِلَا
نِيَّةٍ لَكَانَ مِنْ
تَكْلِيْفِ مَا
لَا
يُطَاقُ
“Seandainya Allah membebani kita
suatu amalan tanpa niat, niscaya ini adalah pembebanan yang sulit dilakukan.”
(Lihat Al Fawa’id Dzahabiyyah, hal.12)
Jika kita memperhatikan lafaz niat
puasa Ramadhan yang diucapkan orang-orang selama ini yaitu ‘nawaitu shouma
ghodin an ada’i …‘ yang biasanya diucapkan bareng-bareng ketika selesai
menunaikan shalat tarawih, tidak memiliki landasan dalil dari Al Qur’an dan
Hadits sama sekali. Orang yang menganjurkan lafaz tersebut pada buku-buku
panduan ibadah yang tersebar di tengah orang awam pun tidak dapat menunjukkan
dalilnya. Mereka tidak memberikan catatan bahwa lafaz niat ini adalah riwayat
Bukhari, Muslim, dsb.
Maka inilah yang menjadi dalil bagi
kami bahwa niat tidaklah diucapkan, cukup dalam hati dan tidak ada lafaz-lafaz
tertentu. Semoga Allah merahmati Imam Nawawi rahimahullah -ulama besar
dalam Madzhab Syafi’i- yang mengatakan:
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا
بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا
يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ
خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang
kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk
diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para
ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah
Syamilah)
Wajib Berniat di Setiap
Malam Bulan Ramadhan
Inilah pendapat yang dipilih oleh
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab beliau Rowdhotuth Tholibin,
I/268 dan ini pula yang menjadi pendapat Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah.
Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar dari Hafshoh bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:
مَنْ لَمْ
يُجْمِعِ الصِّيَامَ قَبْلَ
الْفَجْرِ فَلاَ
صِيَامَ لَهُ
“Barangsiapa siapa yang tidak
berniat sebelum fajar, maka puasanya tidak sah.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi,
dan Nasa’i. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shohihul Jami’)
.
Alasan lainnya bahwasanya hari yang
satu dan lainnya adalah ibadah tersendiri tidak berkaitan dengan lainnya. Jika
salah satu hari batal, hari lainnya tidaklah batal. Dan hal ini jelas berbeda
dengan shalat. Maka pendapat yang kuat dari berbagai pendapat yang ada adalah niat
harus diperbaharui setiap malam di bulan Ramadhan yang waktunya dapat dipilih
mulai dari terbenamnya matahari hingga terbit fajar (masuknya shalat shubuh).
Adapun dalam puasa sunnah tidak
disyaratkan berniat sebelum terbit fajar boleh pada siang hari selama belum
makan atau minum. Hal ini dapat dilihat dari perbuatan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Tatkala di luar bulan Ramadhan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mendatangi istri yang paling beliau cintai -Aisyah radhiyyallahu
‘anha-, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah
engkau memiliki sesuatu untuk dimakan?” Kemudian Aisyah berkata, “Tidak
ada.” Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Kalau
begitu saya puasa.” (HR. Muslim). Dalam menjelaskan hadits ini, Imam Nawawi
mengatakan:
وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّ
صَوْم
النَّافِلَة يَجُوز
بِنِيَّةٍ فِي
النَّهَارِ قَبْل
زَوَالِ الشَّمْسِ
“Ini adalah dalil bagi mayoritas
ulama, bahwa boleh berniat di siang hari sebelum matahari bergeser ke barat pada
puasa sunnah.” (Syarh Nawawi ‘ala Muslim, 4/157, Mawqi’ul Islam
-Maktabah Syamilah)
Rukun Puasa
Rukun puasa adalah menahan diri
dari pembatal puasa mulai dari terbit fajar (yaitu fajar shodiq) hingga
terbenamnya matahari. Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ
الْفَجْرِ ثُمَّ
أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْل
“Dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah
puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah [2] : 187).
Yang dimaksud dengan benang putih
tersebut adalah fajar kadzib yaitu warna putih di langit yang menjulur
ke atas seperti ekor serigala. Sedangkan benang hitam tersebut adalah fajar
shodiq yaitu warna merah yang muncul setelah warna putih yang awal tadi.
Maka janganlah tertipu kalau masih muncul warna putih di langit, karena hal ini
belum menunjukkan masuknya waktu imsak atau waktu shubuh. Sebagaimana
dari Thalq bin Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ
يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصْعِدُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى
يَعْتَرِضَ لَكُمُ
الأَحْمَرُ
“Makan dan minumlah. Janganlah
kalian menjadi takut oleh pancaran sinar (putih) yang menjulang. Makan dan
minumlah sehingga tampak bagi kalian warna merah.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah. Dalam Shohih wa
Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan
shahih)
Maka ayat dan hadits ini menjadi
dalil bahwa waktu imsak adalah sejak terbit fajar shodiq –yaitu ketika adzan
shubuh dikumandangkan- dan bukanlah 10 menit sebelum
adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Allah dan
Rasul-Nya.
Apabila di masjid diteriakkan ‘Para
jama’ah sekalian sekarang sudah waktu imsak‘, apakah boleh kita makan dan
minum? Jawabnya adalah boleh. Bahkan ini dianjurkan karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dahulu makan sahur mepet
(dekat) dengan waktu shubuh.
Dalam hadits Anas dari Zaid bin
Tsabit bahwasanya beliau pernah makan sahur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri
untuk menunaikan shalat. Kemudian Anas berkata, “Berapa lama jarak antara
iqomah dan sahur kalian?” Kemudian Zaid berkata, “Sekitar 50 ayat“.
(HR. Bukhari dan Muslim). Lihatlah berapa lama jarak antara sahur dan iqomah?
Apakah satu jam?! Jawabnya: Tidak terlalu lama, bahkan sangat dekat dengan
waktu adzan shubuh yaitu sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (mungkin sekitar 10
atau 15 menit).
Saudaraku janganlah mempersulit
agama ini karena “Sesungguhnya agama itu mudah.” (HR. Bukhari). Dan
janganlah selalu menganggap baik suatu amalan yang tidak ada tuntunan dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan (misalnya),’Kami
menentukan waktu imsak ‘kan untuk berhati-hati jangan kebablasan makan sampai
shalat shubuh‘. Ingatlah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
lebih mengetahui keadaan umatnya dan bukannya orang-orang yang menetapkan waktu
imsak. Ingatlah ketika terdengar adzan, suri teladan kita (Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam) masih memberikan kita kesempatan untuk menghabiskan
makanan yang ada di tangan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِذَا سَمِعَ
أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى
يَدِهِ
فَلاَ
يَضَعْهُ حَتَّى
يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
“Jika salah seorang di antara
kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka
janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga
selesai.” (HR. Abu Daud. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud,
Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih). Nabi panutan kita
saja masih memberikan kita keringanan kita seperti ini, kok masih ada
dari umat Islam yang mengaku pengikut Nabi yang mempersulit orang awam dengan
syariat imsak yang tidak ada tuntunannya seperti ini ?!
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa
shohbihi wa sallam.
Muroja’ah: Ustadz Abu Sa’ad, M.A.