Prof. Dr. Quraish Shihab pendukung Syi'ah
SIDOGIRI – Jauh sebelum orang-orang ramai meributkan ketidakberesan
pemikiran ulama Metro TV Prof. Dr. Quraish Shihab di kalangan liberal di
Indonesia, secara jamak diketahui beliau sebagai seorang yang bermasalah.
Demikian dikutip NU Garis Lurus, dari analisa
Pesantren Sidogiri, Ahad (19/4/2015).
Jilbab tidak wajib dan
tidak ada jaminan Rasulullah SAW masuk surga hanyalah dua hal kontroversi Dr.
Quraish Shihab yang mengemuka ke publik. Terakhir, dalam kajian tafsir di Metro
TV, dia bahkan membolehkan “ucapan selamat natal”.
Prof. Dr. Quraish Shihab sangat mesra dengan Ulama’ syiah Iran
Sepanjang sejarah,
Quraish Shihab (QS) pernah menulis buku, “Sunnah -Syiah Bergandengan Tangan!
Mungkinkah?” Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati pada Maret 2007.
Di antara yang ditegaskan QS di buku ini bahwa perbedaan sunni dan syi’ah bukan
pada ushul. QS juga menyanggah keberadaan Abdullah bin Saba’. Dia menyebut
Abdullah bin Saba’ sebagai tokoh fiktif. Dalam buku ini QS juga ingin
mendegradasi posisi Abu Hurairah RA sebagai sahabat Rasulullah SAW yang paling
banyak meriwayatkan hadis.
Menanggapi buku
tersebut, teman-teman santri Pondok Pesantren Sidogiri menulis buku bantahan
berjudul, “Mungkinkah Sunnah Syiah Bersatu Dalam Ukhuwah?” Sontak, semua
pembelaan Quraish Shihab terhadap Syiah telah dimentahkan santri-santri Sidogiri
melalui buku ini.
Buku karya Pesantren
Sidogiri membongkar Quraish Shihab yang syiah
Terkait Syihab sebagai
syiah dari Jakarta, Pesantren Sidogiri mengakui bahwa, QS mengirim pesan
ketidaksukaannya terhadap buku yang telah membantah buku pro-syiahnya. “Santri
(pelajar) gitu loh, membantah bukunya profesor.”
Dari pelosok Pasuruan,
teman-teman Sidogiri pun merespon, “Kalau memang sanggahan kami ada yang perlu
disanggah balik, silakan saja. Atau mari kita ketemu, kita duduk dalam satu
majelis, kita bedah bareng buku kita masing-masing!”
Namun ajakan para
santri ini sampai sekarang belum dipenuhi oleh Sang Profesor. Pada Haul Habib
Muhanmas bin Salim al Aththas di Masjid Baalawi, Singapura, Quraish Shihab
pernah berceramah. Dalam ceramahnya, beliau mengkritisi kitab maulid, Diba’.
Tepatnya pada bait: “Mauliduhu bi Makkah, wa hijratuhu bil Madinah wa
shulthonuhu bis-Syam.”
Salah seorang yang
hadir ketika itu adalah Habib Umar bin Muhsin Al Aththas, Lawang. Habib Umar
sebenarnya bermaksud mendebat QS. Namun Habib Hasan Al Aththas sebagai tuan
rumah mencegah beliau.
Berikut pengakuan Dr. Adian Husaini terhadap Buku Pesantren
Sidogiri
Di tengah malasnya
tradisi ilmiah, buku terbitan Pesantren Sidogiri tentang “ukhuwah” Sunni-Syiah
patut diacungi jempol.Belum lama ini saya menerima kiriman berupa sebuah buku
terbitan Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur. Judulnya cukup
panjang: “Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish
Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)” Penulisnya adalah Tim
Penulis Buku Pustaka Sidogiri, Pondok Pesantren Sidogiri, yang dipimpin seorang
anak muda bernama Ahmad Qusyairi Ismail.
Membaca buku ini
halaman demi halaman, muncul rasa syukur yang sangat mendalam. Bahwa, dari
sebuah pesantren yang berlokasi di pelosok Jawa Timur, terlahir sebuah buku
ilmiah yang bermutu tinggi, yang kualitas ilmiahnya mampu menandingi buku karya
Prof. Dr. Quraish Shihab yang dikritik oleh buku ini. Buku dari Pesantren
Sidogiri ini terbilang cukup cepat terbitnya. Cetakan pertamanya keluar pada
September 2007. Padahal, cetakan pertama buku Quraish Shihab terbit pada Maret
2007. Mengingat banyaknya rujukan primer yang dikutip dalam buku ini, kita
patut mengacungi jempol untuk para penulis dari Pesantren tersebut.
Salah satu kesimpulan
Quraish Shihab dalam bukunya ialah, bahwa Sunni dan Syiah adalah dua mazhab
yang berbeda. “Kesamaan-kesamaan yang terdapat pada kedua mazhab ini berlipat
ganda dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan dan sebab-sebabnya. Perbedaan
antara kedua mazhab – dimana pun ditemukan – adalah perbedaan cara pandang dan
penafsiran, bukan perbedaan dalam ushul (prinsip-prinsip dasar) keimanan, tidak
juga dan Rukun-rukun Islam.” (Cetakan II, hal. 265).
Berbeda dengan Quraish
Shihab, pada bagian sampul belakang buku terbitan Pesantren Sidogiri, dikutip
sambutan KH. A. Nawawi Abdul Djalil, pengasuh Pesantren Sidogiri yang
menegaskan: “Mungkin saja, Syiah tidak akan pernah habis sampai hari kiamat dan
menjadi tantangan utama akidah Ahlusunnah. Oleh karena itu, kajian
sungguh-sungguh yang dilakukan anak-anak muda seperti ananda Qusyairi dan
kawan-kawannya ini, menurut saya merupakan langkah penting untuk membendung
pengaruh aliran sesat semacam Syiah.”
Berikut ini kita kutip
sebagian kritik dari Pesantren Sidogiri terhadap Quraish Shihab (selanjutnya
Quraish Shihab disingkat “QS” dan Pondok Pesantren Sidogiri disingkat “PPS”).
Kutipan dan pendapat QS dan PPS diambil dari buku mereka masing-masing.
1. Tentang Abdullah bin Saba’.
QS: “Ia adalah tokoh
fiktif yang diciptakan para anti-Syiah. Ia (Abdullah bin Saba’) adalah sosok
yang tidak pernah wujud dalam kenyataan. Thaha Husain – ilmuwan kenamaan Mesir
– adalah salah seorang yang menegaskan ketiadaan Ibnu Saba’ itu dan bahwa ia
adalah hasil rekayasa musuh-musuh Syiah.” (hal. 65).
PPS: Bukan hanya
sejarawan Sunni yang mengakui kebaradaan Abdullah bin Saba’. Sejumlah tokoh
Syiah yang diakui ke-tsiqah-annya oleh kaum Syiah juga mengakui kebaradaan
Abdullah bin Saba’. Sa’ad al-Qummi, pakar fiqih Syiah abad ke-3, misalnya,
malah menyebutkan dengan rinci para pengikut Abdullah bin Saba’, yang dikenal
dengan sekte Saba’iyah. Dalam bukunya, al-Maqalat wa al-Firaq, (hal. 20),
al-Qummi menyebutkan, bahwa Abdullah bin Saba’ adalah orang memunculkan ide
untuk mencintai Sayyidina Ali secara berlebihan dan mencaci maki para sahabat
Nabi lainnya, khususnya Abu Bakar, Umar, dan Utsman r.a. Kisah tentang Abdullah
bin Saba’ juga dikutip oleh guru besar Syiah, An-Nukhbati dan al-Kasyi, yang
menyatakan, bahwa, para pakar ilmu menyebutkan bahwa Abdullah bin Saba’ adalah
orang Yahudi yang kemudian masuk Islam. Atas dasar keyahudiannya, ia
menggambarkan Ali r.a. setelah wafatnya Rasulullah saw sebagai Yusya’ bin Nun
yang mendapatkan wasiat dari Nabi Musa a.s. Kisah Abdullah bin Saba’ juga
ditulis oleh Ibn Khaldun dalam bukunya, Tarikh Ibn Khaldun. (hal. 44-46).
2. Tentang hadits Nabi saw dan Abu Hurairah r.a.:
QS: “Karena itu, harus
diakui bahwa semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar
potensi kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat
dari Abu Hurairah merupakan satu keharusan. Disamping itu semua, harus diakui
juga bahwa tingkat kecerdasan dan kemampuan ilmiah, demikian juga pengenalan
Abu Hurairah r.a. menyangkut Nabi saw berada di bawah kemampuan sahabat-sahabat
besar Nabi saw, atau istri Nabi, Aisyah r.a.” (hal. 160).
QS: “Ulama-ulama Syiah
juga berkecil hati karena sementara pakar hadits Ahlusunnah tidak meriwayatkan
dari imam-imam mereka. Imam Bukhari, misalnya, tidak meriwayatkan satu hadits
pun dari Ja’far ash-Shadiq, Imam ke-6 Syiah Imamiyah, padahal hadits-haditsnya
cukup banyak diriwayatkan oleh kelompok Syiah.” (hal. 150).
PPS: “Sejatinya,
melancarkan suara-suara miring terhadap sahabat pemuka hadits sekaliber Abu
Hurairah r.a. dengan menggunakan pendekatan apa pun, tidak akan pernah bisa
meruntuhkan reputasi dan kebesaran beliau, sebab sudah pasti akan bertentangan
dengan dalil-dalil hadits, pengakuan para pemuka sahabat dan pemuka ulama serta
realitas sejarah. Jawaban untuk secuil sentilan terhadap Abu Hurairah r.a.
sejatinya telah dilakukan oleh para ulama secara ilmiah dan rasional. Banyak
buku-buku yang ditulis oleh para ulama khusus untuk membantah tudingan miring
terhadap sahabat senior Nabi saw tersebut, diantaranya adalah al-Burhan fi
Tabri’at Abi Hurairah min al-Buhtan yang ditulis oleh Abdullah bin Abdul Aziz
bin Ali an-Nash, Dr. Al-A’zhami dalam Abu Hurairah fi Dhau’i Marwiyatih,
Muhammad Abu Shuhbah dalam Abu Hurairah fi al-Mizan, Muhammad ?Ajjaj al-Khatib
dengan bukunya Abu Hurairah Riwayat al-Islam dan lain-lain.”
Dalam Bidayah wa
an-Nihayah, Ibn Katsir mengatakan, bahwa Abu Hurairah r.a. merupakan sahabat yang
paling kuat hafalannya, kendati beliau bukan yang paling utama. Imam Syafii
juga menyatakan, “Abu Hurairah r.a. adalah orang yang memiliki hafalan paling
cemarlang dalam meriwayatkan hadits pada masanya.” (hal. 320-322).
Karena kuatnya
bukti-bukti keutamaan Abu Hurairah, maka PPS menegaskan: “Dengan demikian, maka
keagungan, ketekunan, kecerdasan dan daya ingat Abu Hurairah tidak perlu
disangsikan, dan karena itulah posisi beliau di bidang hadits demikian tinggi
tak tertandingi. Yang perlu disangsikan justru kesangsian terhadap Abu Hurairah
r.a. seperti ditulis Dr. Quraish Shihab: “Karena itu, harus diakui bahwa
semakin banyak riwayat yang disampaikan seseorang, semakin besar potensi
kesalahannya dan karena itu pula kehati-hatian menerima riwayat-riwayat dari
Abu Hurairah merupakan satu keharusan.” (hal. 322).
“Pernyataan seperti
yang dilontarkan oleh Dr. Quraish Shihab tersebut sebetulnya hanya muncul dari
asumsi-asumsi tanpa dasar dan tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali. Sebab
jelas sekali jika beliau telah mengabaikan dalil-dalil tentang keutamaan Abu
Hurairah dalam hadits-hadits Nabi saw, data-data sejarah dan penelitian
sekaligus penilaian ulama yang mumpuni di bidangnya (hadits dan sejarah).
Kekurangcakapan Dr. Quraish Shihab di bidang hadits semakin tampak, ketika
beliau justru menjadikan buku Mahmud Abu Rayyah, Adhwa’ ?ala Sunnah
Muhammadiyah, sebagai rujukan dalam upaya menurunkan reputasi Abu Hurairah r.a.
Padahal, semua pakar hadits kontemporer paham betul akan status dan pemikiran
Abu Rayyah dalam hadits.” (hal. 322-323).
Tentang banyaknya
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a., Dr. al-A’zhami melakukan
penelitian, bahwa jumlah 5.000 hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah adalah
jika dihitung hadits yang substansinya diulang-ulang. Jika penghitungan
dilakukan dengan mengabaikan hadits-hadits yang diulang-ulang substansinya,
maka hadits dari Abu Hurairah yang ada dalam Musnad dan Kutub as-Sittah tinggal
1336 saja. “Nah, kadar ini, kata Ali as-Salus, bisa dihafal oleh pelajar yang
tidak terlalu cerdas dalam waktu kurang dari satu tahun. Bagaimana dengan Abu
Hurairah, yang merupakan bagian dari mu’jizat kenabian?” (hal. 324).
Memang dalam pandangan
Syiah, seperti dijelaskan oleh Muhammad Husain Kasyif al-Ghitha’ (tokoh Syiah
kontemporer yang menjadi salah satu rujukan kaum Syiah masa kini), yang juga
dikutip oleh QS: “Syiah tidak menerima hadits-hadits Nabi saw kecuali yang
dianggap sah dari jalur Ahlul bait. Sementara hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh para perawi semacam Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, Amr bin Ash dan
sesamanya, maka dalam pandangan Syiah Imamiyah, mereka tidak memiliki nilai
walau senilai nyamuk sekalipun.” (hal. 313).
PPS juga menjawab
tuduhan bahwa Ahlusunnah diskriminatif, karena tidak mau meriwayatkan hadits
dari Imam-imam Syiah. Pernyataan semacam itu hanyalah suatu prasangka belaka
dan tidak didasari penelitian ilmiah apa pun. Dalam kitab-kitab Ahlusunnah,
riwayat-riwayat Ahlul Bait begitu melimpah. Imam Bukhari memang tidak
meriwayatkan hadits dari Imam Ja’far ash-Shadiq, dengan berbagai alasan,
terutama karena banyaknya hadits palsu yang disandarkan kaum Syiah kepada
Ja’far ash-Shadiq. Bukan karena Imam Bukhari membencinya. Bukhari juga tidak
meriwayatkan hadits dari Imam Syafii dan Ahmad bin Hanbal, bukan karena beliau
membenci mereka. (hal. 324-330).
3. Tentang pengkafiran Ahlusunnah:
QS: “Apa yang
dikemukakan di atas sejalan dengan kenyataan yang terlihat, antara lain di
Makkah dan Madinah, di mana sekian banyak penganut aliran Syiah Imamiyah yang
shalat mengikuti shalat wajib yang dipimpin oleh Imam yang menganut mazhab
Sunni yang tentunya tidak mempercayai imamah versi Syiah itu. Seandainya mereka
menilai orang-orang yang memimpin shalat itu kafir, maka tentu saja shalat
mereka tidak sah dan tidak juga wajar imam itu mereka ikuti.” (hal. 120).
PPS: “Memperhatikan
tulisan Dr. Quraish Shihab di atas, seakan-akan Syiah yang sesungguhnya memang
seperti apa yang digambarkannya (tidak menganggap Ahlusunnah kafir dan najis).
Akan tetapi siapa mengira bahwa faktanya tidak seperti penggambaran Dr. Quraish
Shihab? Jika kita merujuk langsung pada fatwa-fatwa ulama Syiah, maka akan
tampak bahwa sebetulnya Dr. Quraish Shihab hendak mengelabui pemahaman umat
Islam akan hakikat Syiah. Bahwa sejatinya, Syiah tetap Syiah. Apa yang mereka
yakini hari ini tidak berbeda dengan keyakinan para pendahulu mereka. Dalam
banyak literatur Syiah dikemukakan, bahwa orang-orang Syiah yang shalat di
belakang (menjadi makmum) imam Sunni tetap dihukumi batal, kecuali dengan
menerapkan konsep taqiyyah… “Suatu ketika, tokoh Syiah terkemuka, Muhammad
al-Uzhma Husain Fadhlullah, dalam al-Masa’il Fiqhiyyah, ditanya: “Bolehkah kami
(Syiah) shalat bermakmum kepada imam yang berbeda mazhab dengan kami, dengan
memperhatikan perbedaa-perbedaan di sebagian hukum antar shalat kita dan shalat
mereka?” Muhammad Husain Fadhlullah menjawab: “Boleh, asalkan dengan
menggunakan taqiyyah.” (348-349).
Seorang dai Syiah,
Muhammad Tijani, mengungkapkan, bahwa “Mereka (orang-orang Syiah) seringkali
shalat bersama Ahlusunnah wal Jama’ah dengan menggunakan taqiyyah dan bergegas
menyelesaikan shalatnya. Dan barangkali kebanyakan mereka mengulangi shalatnya
ketika pulang.” (hal. 350-351).
Banyak sekali
buku-buku referensi utama kaum Syiah yang dirujuk dalam buku terbitan PPS ini.
Karena itu, mereka juga menolak pernyataan Dr. Quraish Shihab bahwa yang
mengkafirkan Ahlusunnah hanyalah pernyataan orang awam kaum Syiah. PPS juga
mengimbau agar umat Islam berhati-hati dalam menerima wacana “Persatuan umat
Islam” dari kaum Syiah. Sebab, mereka yang mengusung persatuan, ternyata dalam
kajiannya justru memojokkan Ahlusunnah dan memposisikannya di posisi zalim,
sementara Syiah diposisikan sebagai “yang terzalimi”.
Buku terbitan PPS ini
memang banyak memuat fakta dan data tentang ajaran Syiah, baik klasik maupun
kontemporer. Terhadap Imam mazhab yang empat, misalnya, dikutip pendapat dalam
Kitab Kadzdzabu ?ala as-Syiah, “Andai para dai Islam dan Sunnah mencintai Ahlul
Bait, niscaya mereka mengikuti jejak langkah Ahlul Bait dan tidak akan
mengambil hokum-hukum agama mereka dari para penyeleweng, seperti Abu Hanifah,
asy-Syafii, Imam Malik dan Ibnu Hanbal.” (hal. 366).
Terlepas dari fakta
tentang Syiah dan kritik terhadap Quraish Shihab, terbitnya buku ini telah
menjadi momen penting bagi PPS untuk turut berkiprah dalam peningkatan khazanah
keilmuan Islam di Indonesia. PPS memang telah didirikan pada tahun 1745. Jadi,
usianya kini telah mencapai lebih dari 260 tahun. Jumlah muridnya kini lebih
dari 5000 orang. Sejumlah prestasi ilmiah tingkat nasional juga pernah
diraihnya. Diantaranya, pada Ramadhan 1425 H, PPS berhasil meraih juara I dan
III lomba karya ilmiah berbahasa Arab yang diselenggarakan oleh Depdiknas RI.
Dalam Jurnal Laporan
Tahunan 1425/1426 H, disebutkan bahwa PPS juga cukup sering mendapat kunjungan
tamu-tamu dari luar negeri. Termasuk dari kedutaan Australia dan Amerika
Serikat. Mereka selalu menerima tamunya dengan baik. Tetapi, dengan sangat
berhati-hati, selama ini, PPS senantiasa menolak dana bantuan dan hibah dari
Australia dan Amerika.
PPS juga termasuk
salah satu pesantren di Jawa Timur yang sangat gigih dalam melawan penyebaran
paham Liberal. Ditulis dalam Laporan Tahunan tersebut: “Tahun ini, PPS
menggerakkan piranti dunia maya untuk melestarikan dan menyelamatkan ajaran
Ahlusunnah dari serbuan berbagai aliran sesat. Di website www.sidogiri.com
secara khusus disediakan rubrik “Islam Kontra Liberal”. Rubrik ini digunakan
oleh Pondok Pesantren Sidogiri untuk meng-counter wacana-wacana pendangkalan
akidah yang ramai berkembang saat ini. Liberalisme, humanisme, rasionalisme,
pluralisme, feminisme, sekularisme, dekonstruksi syariah dan paham-paham
destruktif modern lainnya, menjadi bidikan yang terus ditangkal dengan
wacana-wacana salaf yang dipegang Pondok Pesantren Sidogiri.”
Kita berdoa,
mudah-mudahan akan terus lahir karya-karya ilmiah yang bermutu tinggi dari PPS.
Begitu juga dari berbagai pesantren lainnya.
Maka buku dengan judul
“Mungkinkah Sunnah Syiah dalam Ukhuwah?” tak ada maksud lain dihadirkan QS,
selain sebagai upaya mendudukkan dua faham yang memang berbeda ini
(Sunni-Syiah) secara proporsional.
Menegaskan perbedaan,
tidak berarti menutup ruang untuk saling menghormati dan bertoleransi. Justru
adalah absurd, jika mimpi persatuan itu diharapkan muncul dari ranah yang
memang berhadap-hadapan secara diametral.
Ajakan untuk menjalin
ukhuwah adalah baik, namun jika harus mengorbankan akidah, maka itu akan
menjadi musibah. Mari kita bangun ukhuwah, dengan tanpa mengormankan akidah.
- See more at:
http://www.arrahmah.com/news/2015/04/21/pesantren-sidogiri-membongkar-pemikiran-menyimpang-ulama-metro-tv-quraish-shihab.html#sthash.PIKDVryA.dpuf