TAUHID DAN MAKNA
SYAHADATAIN
Tauhid adalah: Mengesakan Allah semata
dalam beribadah dan tidak menyekutukan-Nya. Dan hal ini merupakan ajaran semua
Rasul alaihimusshalatuwassalam. Bahkan tauhid merupakan pokok yang
dibangun diatasnya semua ajaran, maka jika pokok ini tidak ada, amal perbuatan
menjadi tidak bermanfaat dan gugur, karena tidak sah sebuah ibadah tanpa tauhid.
MACAM-MACAM TAUHID
Tauhid terbagi tiga bagian: Tauhid Rububiyah, Tauhid Asma’ dan
Sifat dan Tauhid Uluhiyah.
1. Tauhid Rububiyah:
Yaitu menyatakan bahwa tidak ada Tuhan Penguasa seluruh alam
kecuali Allah yang menciptakan mereka dan memberinya rizki. Tauhid macam ini
juga telah dinyatakan oleh orang-orang musyrik pada masa-masa pertama dahulu.
Mereka menyatakan bahwa Allah semata yang Maha Pencipta, Penguasa, Pengatur,
Yang Menghidupkan,Yang Mematikan, tidak ada sekutu bagi-Nya. Allah ta’ala berfirman:
وَلَئِنْ
سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ
وَالْقَمَرَ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُوْنَ
(العنكبوت
:61)
“Dan sesungguhnya jika kamu
tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan
menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah” maka
betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar)” (Al Ankabut 61)
Akan tetapi pernyataan dan persaksian mereka tidak membuat mereka
masuk Islam dan tidak membebaskan mereka dari api neraka serta tidak melindungi
harta dan darah mereka, karena mereka tidak mewujudkan tauhid Uluhiyah, bahkan
mereka berbuat syirik kepada Allah dalam beribadah kepada-Nya dengan
memalingkannya kepada selain mereka.
2. Tauhid Asma’ dan Sifat
Yaitu: beriman bahwa Allah ta’ala memiliki zat yang tidak serupa
dengan berbagai zat yang ada, serta memiliki sifat yang tidak serupa dengan
berbagai sifat yang ada. Dan bahwa nama-nama-Nya merupakan petunjuk yang jelas
akan sifat-Nya yang sempurna secara mutlak sebagaimana firman Allah ta’ala:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ (الشورى :110)
“Tidak ada yang
meyerupainya sesuatupun, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (As Syuro 110)
Begitu juga halnya (beriman kepada Asma’ dan
Sifat Allah) berarti menetapkan apa yang Allah tetapkan untuk diri-Nya dalam
Kitab-Nya atau apa yang telah ditetapkan oleh Rasul-Nya sollallohu ‘alihi wa
salam dengan penetapan yang layak sesuai kebesaran-Nya tanpa ada
penyerupaan dengan sesuatupun, tidak juga memisalkannya dan meniadakannya,
tidak merubahnya, tidak menafsirkannya dengan penafsiran yang lain dan tidak
menanyakan bagaimana hal-Nya. Kita tidak boleh berusaha baik dengan hati kita,
perkiraan kita, lisan kita untuk bertanya-tanya tentang bagaimana
sifat-sifat-Nya dan juga tidak boleh menyamakan-Nya dengan sifat-sifat makhluk
.
3. Tauhid Uluhiyah
Tauhid Uluhiyah adalah tauhid ibadah, yaitu mengesakan Allah dalam
seluruh amalan ibadah yang Allah perintahkan seperti berdoa, khouf (takut),
raja’ (harap), tawakkal, raghbah (berkeinginan), rahbah (takut), Khusyu’,
Khasyah (takut disertai pengagungan), taubat, minta pertolongan, menyembelih,
nazar dan ibadah yang lainnya yang diperintahkan-Nya. Dalilnya firman Allah
ta’ala:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلاَ تَدْعُوا
مَعَ اللهِ أَحَداً (الجن : 18)
“Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah
kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun didalamnya di samping
(menyembah) Allah” (Al
Jin 18)
Manusia tidak boleh memalingkan sedikitpun ibadahnya kepada selain
Allah ta’ala, tidak kepada malaikat, kepada para Nabi dan tidak juga kepada
para wali yang sholeh dan tidak kepada siapapun makhluk yang ada. Karena ibadah
tidak sah kecuali jika untuk Allah, maka siapa yang memalingkannya kepada
selain Allah dia telah berbuat syirik yang besar dan semua amalnya gugur.
Kesimpulannya adalah seseorang harus berlepas diri dari
penghambaan (ibadah) kepada selain Allah, menghadapkan hati sepenuhnya hanya
untuk beribadah kepada Allah. Tidak
cukup dalam tauhid sekedar pengakuan dan ucapan syahadat saja jika tidak
menghindar dari ajaran orang-orang musyrik serta apa yang mereka lakukan
seperti berdoa kepada selain Allah misalnya kepada orang yang telah mati dan
semacamnya, atau minta syafaat kepada mereka (orang-orang mati) agar Allah
menghilangkan kesusahannya dan menyingkirkannya, dan minta pertolongan kepada mereka
atau yang lainnya yang merupakan perbuatan syirik.
Wujud nyata Tauhid adalah: memahami-nya dan berusaha untuk
mengetahui hakikatnya serta melaksanakan kewajibannya, baik dari sisi ilmu
maupun amalan, hakikatnya adalah mengarahkan ruhani dan hati kepada Allah baik
dalam hal mencintai, takut (khouf), taubat, tawakkal, berdoa, ikhlas,
mengagunggkan-Nya, membesarkan-Nya dan beribadah kepada-Nya. Kesimpulannya
tidak ada dalam hati seorang hamba sesuatupun selain Allah, dan tidak ada
keinginan terhadap apa yang Allah tidak inginkan dari perbuatan-perbuatan
syirik, bid’ah, maksiat yang besar maupun kecil, dan tidak ada kebencian
terhadap apa yang Allah perintahkan. Itulah hakikat tauhid dan hakikat Laa Ilaaha Illallah.
Makna Laa Ilaaha Illallah
Maknanya adalah, tidak ada yang disembah di langit dan di bumi
kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Sesuatu yang disembah dengan
bathil banyak jumlahnya tapi yang disembah dengan hak hanya Allah saja. Allah
ta’ala berfirman:
ذَلِكَ
بِأَنَّ اللهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِهِ هُوَ
الْبَاطِلُوَأَنَّ اللهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيْرُ (الحج: 62)
“(Kuasa Allah) yang
demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah, Dialah (Tuhan) Yang Haq dan
sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan
sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar” (Al Hajj 62)
Kalimat Laa Ilaaha Illallah bukan berarti : “Tidak ada pencipta
selain Allah” sebagaimana yang disangka sebagian orang, karena sesungguhnya
orang-orang kafir Quraisy yang diutus kepada mereka Rasulullah sollallohu
‘alihi wa salam mengakui bahwa Sang Pencipta dan Pengatur alam ini adalah Allah
ta’ala, akan tetapi mereka mengingkari penghambaan (ibadah) seluruhnya milik
Allah semata tidak ada yang menyekutukannya. Sebagaimana firman Allah ta’ala:
أَجَعَلَ
الآلِـهَةَ إِلَهاً وَاحِداً إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ (ص : 5)
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja ? Sesungguhnya ini benar-benar satu hal yang
sangat mengherankan” (Shad 5)
Dipahami dari ayat ini bahwa semua ibadah yang ditujukan kepada
selain Allah adalah batal. Artinya bahwa ibadah semata-mata untuk Allah. Akan
tetapi mereka (kafir Quraisy) tidak menghendaki demikian, oleh karenanya
Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam memerangi mereka hingga bersaksi
bahwa tidak ada ilah yang disembah selain Allah serta menunaikan hak-hak-Nya
yaitu mengesa-kannya dalam beribadah kepada-Nya semata.
Dengan pemahaman ini maka kelirulah apa yang diyakini oleh para
penyembah kuburan pada masa ini dan orang-orang semacam mereka yang menyatakan
bahwa makna Laa ilaaha illallah adalah persaksian bahwa Allah ada atau bahwa
Dia adalah Khaliq sang Pencipta yang mampu untuk meciptakan dan yang semacamnya
dan bahwa yang berkeyakinan seperti itu berarti dia telah mewujudkan Tauhid
yang sempurna meskipun dia melakukan berbagai hal seperti beribadah kepada
selain Allah dan berdoa kepada orang mati atau beribadah kepada mereka dengan
melakukan nazar atau thawaf dikuburannya dan mengambil berkah dengan tanah
kuburannya.
Orang-orang kafir Quraisy telah mengetahui
sebelumnya bahwa Laa ilaaha Illallah mengandung konsekwensi yaitu
ditinggalkannya ibadah kepada selain Allah dan
hanya mengesakan Allah dalam ibadahnya. Seandainya mereka mengucapkan
kalimat tersebut dan tetap menyembah kepada berhala, maka sesungguhnya hal itu
merupakan perbuatan yang bertolak belakang dan mereka memang telah memulainya
dari sesuatu yang bertentangan. Sedangkan para penyembah kuburan zaman sekarang
tidak memulainya dari sesuatu yang bertentangan, mereka mengatakan Laa ilaaha
Illallah, kemudian mereka membatalkannya dengan doa terhadap orang mati yang
terdiri dari para wali, orang-orang sholeh serta beribadah di kuburan mereka
dengan berbagai macam ibadah. Celakalah bagi mereka sebagaimana celakanya Abu
Lahab dan Abu Jahal walaupun keduanya mengetahui Laa Ilaaha Illallah.
Banyak sekali terdapat hadits yang menerangkan bahwa makna Laa
Ilaaha Illallah adalah berlepas diri dari semua ibadah terhadap selain Allah
baik dengan meminta syafaat ataupun pertolongan, serta mengesakan Allah dalam
beribadah, itulah petunjuk dan agama yang haq yang karenanya Allah mengutus
para Rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya. Adapun orang yang mengucapkan Laa
Ilaaha Illahllah tanpa memahami maknanya dan mengamalkan kandungannya, atau
pengakuan seseorang bahwa dia termasuk orang bertauhid sedangkan dia tidak
mengetahui tauhid itu sendiri bahkan justu beribadah dengan ikhlas kepada
selain Allah dalam bentuk doa, takut , menyembelih, nazar, minta pertolongan,
tawakkal serta yang lainnya dari berbagai bentuk ibadah maka semua itu adalah
hal yang bertentangan dengan tauhid bahkan selama seseorang melakukan yang
seperti itu dia berada dalam keadaan musyrik!
Ibnu Rajab berkata:
“Sesungguhnya hati yang memahami Laa Ilaaha Illallah dan
membenarkannya serta ikhlas akan tertanam kuat sikap penghambaan kepada Allah
semata dengan penuh penghormatan, rasa takut, cinta, pengharapan, pengagungan
dan tawakkal yang semua itu memenuhi ruang hatinya dan disingkirkannya
penghambaan terhadap selain-Nya dari para makhluk. Jika semua itu terwujud maka
tidak akan ada lagi rasa cinta, keinginan dan permintaan selain apa yang
dikehendaki Allah serta apa yang dicintai-Nya dan dituntut-Nya. Demikian juga
akan tersingkir dari hati semua keinginan nafsu syahwat dan bisikan-bisikan
syaitan, maka siapa yang mencintai sesuatu atau menta’atinya atau mecintai dan
membenci karenanya maka dia itu adalah tuhannya, dan siapa yang mencintai dan
membenci semata-mata karena Allah, ta’at dan memusuhi karena Allah, maka Allah
baginya adalah tuhan yang sebenarnya. Siapa yang mencintai karena hawa nafsunya
dan membenci juga karenanya, atau ta’at dan memusuhi karena hawa nafsunya, maka
hawa nafsu baginya adalah tuhannya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
أَرَأَيْتَ
مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ (الفرقان : 43)
“Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya
sebagai tuhan ?” (Al Furqon 43)
Keutamaan Laa Ilaaha Illallah
Dalam kalimat Ikhlas (Laa Ilaaha Illallah) terkumpul keutamaan
yang banyak, dan faedah yang bermacam-macam. Akan tetapi keutamaan tersebut
tidak akan bermanfaat bagi yang mengucapkannya jika sekedar diucapkan saja. Dia
baru memberikan manfaat bagi orang yang mengucapkannya dengan keimanan dan
melakukan kandungan-kandungannya. Diantara keutamaan yang paling utama adalah
bahwa orang yang mengucapkannya dengan ikhlas semata-mata karena mencari
ridho-Nya maka Allah ta’ala haramkan baginya api neraka. Sebagaimana sabda
Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam:
إِنَّ
اللهَ حَرَّمَ عَلَى النَّارِ مَنْ قَالَ : لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي
بِذَلِكَ وَجْهَ اللهِ (متفق عليه)
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka bagi siapa yang
mengatakan: Laa Ilaaha Illallah semata-mata karena mencari ridho Allah”
(Muttafaq Alaih).
Dan banyak lagi hadits-hadits lainnya yang menyatakan bahwa Allah
mengharamkan orang-orang yang mengucapkan Laa Ilaaha Illallah dari api neraka.
Akan tetapi hadits-hadits tersebut mensyaratkan dengan berbagai syarat yang
berat.
Banyak yang mengucapkannya namun dikhawatirkan terkena fitnah
disaat kematiannya sehingga dia terhalang dari kalimat tersebut karena
dosa-dosanya yang selama ini selalu dilakukannya dan dianggapnya remeh. Banyak
juga yang mengucapkannya dengan dasar ikut-ikutan atau adat semata sementara
keimanan tidak meresap kedalam hatinya. Orang-orang semacam merekalah yang
banyak mendapatkan fitnah saat kematiannya dan saat di kubur sebagaimana
terdapat dalam sebuah hadits “Saya mendengarkan
manusia mengatakannya, maka saya mengatakannya” (Riwayat Ahmad dan
Abu Daud).
Dengan demikian maka tidak ada yang bertentangan dengan
hadits-hadits yang ada, karena jika seseorang mengucapkannya (Laa Ilaaha
Illallah) dengan ikhlas dan penuh keyakinan maka dia tidak mungkin berbuat dosa
terus menerus, karena kesempurnaan keikhlasan dan keyakinan menuntutnya untuk
menjadikan Allah sebagai sesuatu yang lebih dicintainya dari segala sesuatu,
maka tidak ada lagi dalam hatinya keinginan terhadap apa yang diharamkan Allah
ta’ala dan membenci apa yang Allah perintahkan. Hal seperti itulah yang
membuatnya diharamkan dari api neraka meskipun dia melakukan dosa sebelumnya,
karena keimanan, taubat, keikhlasan, kecintaan dan keyakinannya membuat dosa
yang ada padanya terhapus bagaikan malam yang menghapus siang.
RUKUN LAA ILAAHA ILLALLAH
Syahadat memiliki dua rukun :
1. Peniadaan
(Nafy) dalam kalimat: “Laa Ilaaha”.
2. Penetapan (Itsbat) dalam kalimat: “Illallah”.
Maka “Laa Ilaaha” berarti meniadakan segala tuhan selain
Allah, dan “Illallah” berarti menetapkan bahwa sifat ketuhanan hanya
milik Allah semata dan tidak ada yang menyekutukannya.
Syarat-syarat Laa Ilaaha Illallah
Para ulama menyatakan bahwa ada tujuh syarat bagi kalimat Laa
Ilaaha Illallah. Kalimat tersebut tidak sah selama ketujuh syarat tersebut
tidak terkumpul dan sempurna dalam diri seseorang, serta mengamalkan segala apa
yang terdapat didalamnya serta tidak melakukan sesuatu yang bertentangan
dengannya. Yang dimaksud bukanlah sekedar menghitung lafaz-lafaznya dan
menghafalnya, sebab betapa banyak orang yang hafal kalimatnya akan tetapi ia
bagaikan anak panah yang melesat (keluar dari Islam) sehingga anda akan lihat
dia banyak melakukan banyak perbuatan yang bertentangan. Berikut ini
syarat-syaratnya:
1. Berilmu (العلم)
Yang dimaksud adalah memiliki ilmu terhadap maknanya (kalimat Laa
Ilaaha Illallah) baik dalam hal nafy maupun itsbat dan segala amal yang
dituntut darinya. Jika seorang hamba mengetahui bahwa Allah ta’ala adalah
semata-mata yang disembah dan bahwa penyembahan kepada selainnya adalah bathil,
kemudian dia mengamalkan sesuai dengan ilmunya tersebut.
Lawan dari mengetahui adalah bodoh, karena dia tidak mengetahui
wajibnya mengesakan Allah dalam ibadah, bahkan dia menilai bolehnya beribadah
kepada selain Allah disamping beribadah kepada-Nya, Allah ta’ala berfirman:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ (محمد 19 )
“Maka ketahuilah, bahwa
sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah” (Muhammad 19)
إِلاَّ مَنْ
شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُوْنَ (الزخرف 86)
“Akan tetapi (orang yang dapat memberi
syafaat ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini(nya)” (Az Zukhruf 86)
Maksudnya adalah: Siapa yang bersaksi sedangkan hati mereka
mengetahui apa yang diucapkan lisan mereka.
2. Yakin (اليقين)
Yaitu seseorang mengucapkan syahadat dengan keyakinan sehingga
hatinya tenang didalamnya, tanpa sedikitpun pengaruh keraguan yang disebarkan
oleh syetan-syetan jin dan manusia, bahkan dia mengucapkannya dengan penuh
keyakinan atas kandungan yang ada didalamnya. Siapa yang mengucapkannya maka
wajib baginya meyakininya didalam hati dan mempercayai kebenaran apa yang
diucapkannya yaitu adanya hak ketuhanan yang dimiliki Allah ta’ala dan tidak
adanya sifat ketuhanan kepada segala sesuatu selain-Nya. Juga berkeyakinan
bahwa kepada selain Allah tidak boleh diarahkan kepadanya ibadah dan
penghambaan. Jika dia ragu terhadap syahadatnya atau tidak mengakui bathilnya
sifat ketuhanan selain Allah ta’ala, misalnya dengan mengucapkan: “Saya
meyakini akan ketuhanan Allah ta’ala akan tetapi saya ragu akan bathilnya
ketuhanan selain-Nya”, maka batallah syahadatnya dan tidak bermanfaat
baginya. Allah ta’ala berfirman:
إِنَّمَا
اْلمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُوْلِهِ ثُمَّ لَمْ
يَرْتَابُوا ( الحجرات: 15)
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman
hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka
tidak ragu-ragu ”(Al Hujurat 15).
3. Menerima (القبول)
Maksudnya adalah menerima semua ajaran yang terdapat dalam kalimat tersebut dalam hatinya dan lisannya. Dia membenarkan dan beriman atas semua berita dan apa yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya, tidak ada sedikitpun yang ditolaknya dan tidak berani memberikan penafsiran yang keliru atau perubahan atas nash-nash yang ada sebagaimana hal tersebut dilarang Allah ta’ala. Dia berfirman:
قُوْلُوا آمَنَّا بِاللهِ وَمَا
أُنْزِلَ إِلَيْنَا (البقرة 136)
“Katakanlah, kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepada kami” (Al Baqarah 13)
Lawan dari menerima adalah menolak. Ada sebagian orang yang
mengetahui makna syahadatain dan yakin akan kandungan yang ada didalamnya akan
tetapi dia menolaknya karena kesombongannya dan kedengkiannya. Allah ta’ala
berfirman:
فَإِنَّهُمْ لاَ يُكَذِّبُوْنَكَ
وَلَكِنَّ الظَّالِمِيْنَ بِأَيَاتِ اللهِ يَجْحَدُوْنَ (الأنعام 33)
“Karena mereka sebenarnya bukan mendustakan
kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah” (Al An’am 33)
Termasuk dikatakan menolak, jika seseorang menentang atau benci
dengan sebagian hukum-hukum Syari’at
atau hudud (hukum pidana Islam). Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا
الَّذِيْنَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً (البقرة:
208)
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam
secara keseluruhannya”(Al Baqarah 208)
4. Tunduk (الانقياد)
Yang dimasud adalah tunduk atas apa yang diajarkan dalam kalimat Ikhlas, yaitu dengan menyerahkan dan merendahkan diri serta tidak membantah terhadap hukum-hukum Allah. Allah ta’ala berfirman:
وَأَنِيْبُوا
إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ ( الزمر 54)
“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan
berserah dirilah kepada-Nya …” (Az Zumar 54)
Termasuk juga tunduk terhadap apa yang dibawa Rasulullah sollallohu
‘alihi wa salam dengan diiringi sikap ridho dan mengamalkannya tanpa
bantahan serta tidak menambah atau mengurangi. Jika seseorang telah mengetahui
makna Laa Ilaaha Illallah dan yakin serta menerimanya, akan tetapi dia tidak
tunduk dan menyerahkan diri dalam melaksanakan kandungannya maka semua itu
tidak memberinya manfaat. Termasuk dikatakan tidak tunduk juga adalah tidak
menjadikan syariat Allah sebagai sumber hukum dan menggantinya dengan
undang-undang buatan manusia.
5. Jujur (الصـــدق)
Maksudnya jujur dengan
keimanannya dan aqidahnya, selama itu terwujud maka dia dikatakan orang yang
membenarkan terhadap kitab Allah ta’ala dan sunnahnya.
Lawan dari jujur adalah dusta, jika seorang hamba berdusta dalam
keimanannya, maka seseorang tidak dianggap beriman bahkan dia dikatakan munafiq
walaupun mengucapkan syahadat dengan lisannya, maka syahadat tersebut baginya
tidak menyelamatkannya.
Termasuk yang menghilangkan sahnya syahadat adalah mendustakan apa
yang dibawa Rasulullah atau mendustakan sebagian yang dibawanya, karena Allah
ta’ala telah memerintahkan kita untuk ta’at kepadanya dan membenarkannya dan mengaitkannya
dengan ketaatan kepada-Nya.
6. Ikhlas (الإخـــلاص)
Maksudnya adalah mensucikan setiap amal perbuatan dengan niat yang murni dari kotoran-kotoran syirik, yang demikian itu terwujud dari apa yang tampak dalam perkataan dan perbuatan yang semata-mata karena Allah ta’ala dan karena mencari ridho-Nya. Tidak ada didalamnya kotoran riya’ dan ingin dikenal, atau tujuan duniawi dan pribadi, atau juga melakukan sesuatu karena kecintaannya terhadap seseorang atau golongannya atau partainya dimana dia menyerahkan dirinya kepadanya tanpa petunjuk Allah ta’ala. Dia berfirman:
ألاَ لِلَّهِ الدِّيْنُ الْخَالِصُ (الزمر 3)
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari
syirik)” (Az Zumar 3)
وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا
اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنُ (البينة 5)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam menjalankan agama
dengan lurus” (Al Bayinah 5).
Lawan dari ikhlas adalah Syirik dan riya’, yaitu mencari keridhoan
selain Allah ta’ala. Jika seseorang telah kehilangan dasar keikhlasannya, maka
syahadat tidak bermanfaat baginya. Allah ta’ala berfirman:
وَقَدِمْنَا
إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْناَهاَ هَبَاءً مَنْثُوراً (الفرقان 23)
“Dan Kami hadapkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami
jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” (Al Furqon 23)
Maka dengan demikian tidak ada manfaat baginya semua amalnya
karena dia telah kehilangan landasannya.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ
اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ
يَشَاءَ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ
افْتَرَى إِثْما عَظِيْماً (النساء 48)
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka
sengguh ia telah berbuat dosa yang besar” (An Nisa 48)
7. Cinta (المحـــبة)
Yaitu mencintai kalimat yang agung ini serta semua ajaran dan konsekwensi yang terkandung didalamnya maka dia mencintai Allah dan Rasul-Nya dan mendahulukan kecintaan kepada keduanya atas semua kecintaan kepada yang lainnya serta melakukan semua syarat-syaratnya dan konsekwensinya. Cinta terhadap Allah adalah rasa cinta yang diiringi dengan rasa pengangungan dan rasa takut dan pengharapan.
Termasuk cinta kepada
Allah adalah mendahulukan apa yang Allah cintai atas apa yang dicintai hawa
nafsu dan segala tuntutannya, termasuk juga rasa cinta adalah membenci apa yang
Allah benci, maka dirinya membenci orang-orang kafir serta memusuhi mereka. Dia
juga membenci kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan.
Termasuk tanda cinta
adalah tunduk terhadap syariat Allah dan mengikuti ajaran nabi Muhammad dalam
setiap urusan. Allah ta’ala berfirman:
قُلْ
إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهَ وَيَغْفِرْلَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ (آل عمران 30
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar)
mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni
dosa-dosamu”, Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Ali Imran 30)
Lawan dari cinta adalah benci. Yaitu membenci
kalimat ini dan semua ajaran yang terkandung didalamnya atau mencinta sesuatu
yang disembah selain Allah bersama kecintaannya terhadap Allah. Allah ta’ala
berfirman:
ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنْزَلَ اللهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ (محمد 9)
“Yang demikian itu adalah karena
sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu
Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amala mereka”(Muhammad 9)
Termasuk yang menghilangkan sifat cinta adalah
membenci Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam dan mencintai musuh-musuh Allah serta membenci
wali-wali Allah dari golongan orang beriman.
MAKNA
PERSAKSIAN (SYAHADAT) BAHWA MUHAMMAD ADALAH RASULULLAH SOLLALLAHU
‘ALIHI WA SALAM
Maknanya adalah: Taat terhadapnya atas apa
yang diperintahkannya dan membenarkan atas apa yang diberitakannya serta
menjauhi apa yang dilarang dan diancamnya. Tidak beribadah kepada Allah kecuali
apa yang dia syariatkan. Setiap muslim harus mewujudkan syahadat ini, sehingga
tidak dikatakan syahadat seseorang terhadap kerasulannya sempurna manakala dia
sekedar mengucapkannya dengan lisan namun meninggalkan perintahkannya dan
melanggar larangannya serta taat kepada selainnya atau beribadah kepada Allah
tidak berdasarkan ajarannya. Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam
bersabda:
مَنْ
أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ (رواه
البخاري)
“Siapa yang taat kepadaku maka dia telah taat kepada Allah dan
siapa yang durhaka kepadaku maka dia telah durhaka kepada Allah” (Riwayat Bukhori)
مَنْ
أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَالَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (متفق عليه)
“Siapa yang mengada-ada
dalam urusan (agama) kami yang tidak termasuk didalamnya maka dia tertolak” (Muttafaq alaih)
Termasuk wujud nyata dari syahadat ini adalah tidak adanya
keyakinan bahwa Rasulullah sollallohu
‘alihi wa salam memiliki hak ketuhanan yang mengatur alam ini atau tidak
memiliki hak untuk disembah, akan tetapi dia hanyalah seorang hamba yang tidak
disembah dan seorang Rasul yang tidak didustakan dan dirinya tidak memiliki kekuasaan
atas dirinya sendiri dan orang lain dalam mendatangkan manfaat dan mudharat
kecuali apa yang Allah kehendaki.
Allah ta’ala berfirman:
قُلْ
لاَ أَمْلِكُ لِنَفْسِي نَفْعاً وَلاَ ضَرًّا إِلاَّ مَا شَاءَ اللهُ [الأعراف : 188]
“Katakanlah (Hai Muhammad): “Aku tidak
berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan
kecuali yang dikehendaki Allah” (Al A’raf : 188)
HAL-HAL YANG MEMBATALKAN KEISLAMAN
1. Mengadakan persekutuan (syirik) dalam beribadah kepada Allah
ta’ala (An Nisa 116). Termasuk dalam hal
ini, permohonan pertolongan dan permohonan doa kepada orang mati serta
bernadzar dan menyembelih qurban untuk mereka.
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan
(sesuatu) dengan Dia, dan dia mengampuni dosa yang selain syirik bagi siapa
yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah,
maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An Nisaa’:
116)
2. Siapa yang menjadikan sesuatu atau seseorang sebagai perantara
kepada Allah, memohon kepada mereka syafaat, serta sikap tawakkal kepada mereka, maka berdasarkan ijma’ dia telah
kafir.
3. Siapa yang tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau
menyangsikan kekafiran mereka, bahkan membenarkan
madzhab mereka, maka dia telah kafir.
4. Berkeyakinan bahwa petunjuk selain yang datang dari Nabi Muhammad
sollallohu ‘alihi wa salam lebih sempurna dan lebih baik. Menganggap suatu hukum atau undang-undang lainnya lebih baik
dibandingkan syariat Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam, serta lebih
mengutamakan hukum taghut (buatan manusia) dibandingkan ketetapan Rasulullah sollallohu
‘alihi wa salam .
5. Membenci sesuatu yang datangnya dari Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam, meskipun diamalkannya. (Muhammad
9).
“Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka benci kepada
apa yang diturunkan Allah (Al Quran) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala)
amal-amal mereka.” (Muhammad : 9)
6. Siapa yang mengolok-olok sebagian dari Din (aturan) yang dibawa Rasulullah sollallohu ‘alihi wa salam,
misalnya tentang pahala atau balasan yang akan diterima maka dia telah
kafir. (At-Taubah 65-66)
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka
lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah
bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan
Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak
usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan
segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan
(yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.”(At Taubah
: 65-66)
7. Melakukan sihir, diantaranya “As-sharf” (mengubah perasaan seorang laki-laki menjadi benci kepada
istrinya) dan “Al Athaf” (Menjadikan seseorang senang terhadap apa yang
sebelumnya dia benci/pelet) atas bantuan syeitan. Siapa yang melakukan kegiatan
sihir atau ridha dengannya maka dia kafir (Al Baqarah 102)
“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada
masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan
sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya
syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir
kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat[78]
di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan
(sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya kami hanya
cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari
dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan
antara seorang (suami) dengan isterinya[79]. Dan mereka itu
(ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali
dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat
kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya mereka telah meyakini
bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tiadalah
baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual
dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (Al Baqoroh
: 102)
8. Mengutamakan orang kafir serta memberikan
pertolongan dan bantuan kepada orang musyrik lebih dari pada pertolongan dan
bantuan yang diberikan kepada kaum muslimin. (Al Maidah 5)
“Pada hari ini dihalalkan bagimu
yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. Barangsiapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima
hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk
orang-orang merugi.” (Al Maidah : 5)
9. Beranggapan bahwa manusia bisa leluasa keluar dari syariat
Muhammad . (Ali Imron 85)
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali
tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi.” (Ali Imran : 85)
10. Berpaling dari Dinullah, baik karena dia tidak mau
mempelajarinya atau karena tidak mau mengamalkannya. Hal ini berdasarkan firman
Allah ta’ala: (As-Sajadah 22).
“Dan
siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan
ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan
memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” (As Sajadah : 22).